TEMPO.CO, Jakarta -Pengamat dari Energy Watch Mamit Setiawan menanggapi wacana pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Karena sudah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN dan tidak tepat sasaran.
Menurut Mamit subsidi BBM saat ini kontrapoduktif karena justru memperlebar jurang kesenjangan sosial antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Dia menjelaskan subsidi BBM menjadi mubazir karena tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan penggunaannya banyak dimanfaatkan masyarakat mampu.
“Sudah cukup kita membakar dana APBN kita di jalan raya, kita bisa memanfaatkan APBN kita di sektor produktif," ujar dia lewat keterangan tertulis pada Selasa, 30 Agustus 2022.
Mamit mengatakan penyesuaian harga BBM subsidi harus dijelaskan dengan baik kepada masyarakat karena kondisi Indonesia saat ini bukan lagi sebagai net eksportir BBM melainkan sudah menjadi net importir. Nilai impor Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya 600 ribu barel per hari, belum lagi pengaruh nilai tukar rupiah dengan dolar.
“Sehingga nilai rupiah kita bisa terdepresiasi lebih dalam. Ini yang harus dipahami masyarakat bahwa kita tidak lagi produsen minyak dunia, produksi minyak kita kurang dari setengah nilai konsumsi bbm kita,” kata Mamit.
Dia mengusulkan mekanisme subdisi BBM yang tidak tepat sasaran harus segera diubah agar yang menikmati subsidi adalah mereka yang memang membutuhkan. Mamit juga menilai harus segera dilakukan reformasi subsidi BBM, tidak lagi subsidi BBM, tapi subsidi orang sehingga tepat sasaran dan tidak membebani APBN.
"Data masyarakat kecil sudah ada, tinggal di-upgrade data sehingga masyarakat yang butuh akan mendapatkan subsidi. Sekarang kan banyak yang menikmati subsidi BBM ada mobil mobil mewah,” tutur dia
Berdasarkan harga keekonomian, harga BBM di Indonesia juga relatif lebih murah dibanding negara lain dan negara tetangga. Mamit mencontohkan harga BBM jenis pertalite di Eropa dan negara tetangga yang harganya jauh lebih tinggi dibanding di Indonesia saat ini.
"Di Uni Eropa sudah Rp 30 ribu, dan di negara Singapura di angka seperti itu, memang disparitasnya sudah tinggi sekali. Harga BBM kita tidak terlalu murah, tapi sudah murah,” ucap dia.