TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan gambaran bahwa anggaran subsidi energi bisa membengkak menjadi Rp 700 triliun sampai akhir 2022 jika harga bahan bakar minyak (BBM) tak naik. Anggaran ini melebar sebanyak Rp 198 triliun dari sebelumnya Rp 502 triliun.
"Kami perkirakan subsidi itu harus nambah lagi, bahkan bisa mencapai Rp 198 triliun, di atas Rp 502 triliun," ujar Sri Mulyani seusai rapat Badan Anggaran DPR di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.
Bendahara negara menjelaskan, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta pihaknya menghitung kecukupan anggaran subsidi energi, terutama untuk Pertalite dan Solar. Hasil kalkulasi menunjukkan anggaran subsidi Rp 502 triliun tidak akan cukup.
Padahal anggaran itu sudah naik tiga kali lipat dari tahun lalu. Meroketnya anggaran ini didorong adanya tren kenaikan konsumsi BBM bersubsidi hingga Juli. Pada mulanya, pemerintah menetapkan asumsi konsumsi BBM sebesar 23 juta kiloliter.
Jika tidak dibatasi, konsumsi BBM akan membengkak 25 persen dari asumsi awal menjadi 29 juta kiloliter sampai akhir tahun. Selain kenaikan konsumsi BBM, harga minyak dunia yang masih tinggi di batas US$ 104,9 per barrel membuat harga BBM meroket.
Nilai tukar rupiah yang bergerak di kisaran Rp 14.750 juga membuat gap harga BBM bersubsidi antara harga keekonomiannya dan harga jual ecerannya semakin lebar. Saat ini harga keekonomian Pertalite Rp 13.150, tapi ecerannya msih dijul seharga Rp 7.650 per liter.
Sementara itu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022, asumsi nilai tukar adalah di Rp1 4.450. Sri Mulyani pun menilai jika tingkat konsumsi dan harga minyak terus berada di atas asumsi, dan nilai tukar masih melemah, kebutuhan subsidi BBM akan kian bertambah.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun menyatakan bahwa asumsi penambahan anggaran subsidi Rp 198 triliun itu hanya memperhitungkan untuk Pertalite dan Solar. Penambahan itu belum termasuk liquid petroleum gas (LPG) 3 kilogram dan listrik.
Dengan kondisi ini, Sri Mulyani mengatakan pemerintah dihadapkan pada tiga opsi soal BBM. Opi pertama, pemerintah kudu menaikkan subsidi sampai mendekati Rp 700 triliun. Risikonya adalah anggaran itu semakin membebani fiskal.
Kedua, pemerintah kudu mengendalikan volume konsumsi BBM, terutama Pertalite dan Solar. Sri Mulyani menyebut dalam opsi ini, akan terdapat ketentuan siapa yang bisa dan tidak bisa membeli BBM bersubsidi.
Sedangkan opsi ketiga adalah menaikkan harga BBM. Adapun sinyal soal kenaikan harga BBM sudah terus mencuat dalam beberapa waktu terakhir.
Opsi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10 ribu dianggap tepat.