TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk implementasi pajak karbon.
Implementasi pajak karbon resmi tertunda dua kali, dari amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mestinya berlaku 1 April 2022.
“Serius apa enggak, apalagi sebagai Presidensi G20 yang salah satunya membahas tentang transisi energi itu yang sudah diundangkan ditunda,” ujar dia dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Menurut Berly, ini adalah masalah kredibilitas, jangan sampai inisiasi di G20 jadi tidak kredibel karena salah satu janjinya tidak dilaksanakan. Memang, kata dia, harus diakui sudah ada niatan dari pemerintah untuk menerapkan pajak karbon meskipun nilainya masih kecil. “Ini sudah kecil, ditunda lagi.”
Seharusnya perlu dipercepat, sehingga orang sudah menginternalisasi eksternalitas yang merupakan prinsip dasar ekonomi sumber daya alam. Jadi sudah salah langkah over invest di IPP Coal, karena tidak menggunakan prisnsip dasar tadi, jangan sampai diabaikan lagi.
“Sehingga kita malah membayar mahal karena tidak well planned dan berdasarkan sains di awalnya,” tutur Berly.
Sementara Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyayangkan penundaan implementasi pajak karbon. Karena pajak karbon ini sebenarnya memiliki tujuan memberikan kesempatan bersaing yang sama antara enegi fosil yang mengahasilkan emisi dan terbarukan khususnya hingga tahun 2025.
Padahal pajak karbon bisa diberlakukan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), jadi memberikan kesempatan yang baik untuk energi terbarukan. Namun, pasti ada catatannya, tarif pajaknya masih sangat rendah hanya Rp 30 per kilogram CO2-nya atau US$ 2 per ton-nya jadi masih sangat murah.
“Angka itu jauh dari rekomendasi World Bank yaitu US$ 40-80 per ton-nya untuk efektif mengurangi gas rumah kaca sesuai dengan Paris Agreement,” tutur Adila.