Dengan begitu, kata Said, penyaluran subsidi akan berubah dari awalnya menyasar barang menjadi menyasar orang. “Sekarang pilihannya begini, subsidi anggarannya kita tambah yang kita tahu tidak tepat sasaran, atau kita naikkan subsidi itu, harganya lakukan penyesuaian, tetapi uangnya kita kasih ke rakyat. Apa yang dipilih? Hasil penyesuaian untuk mempertebal Perlinsos,” kata Said.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemerintah hingga kini masih membahas rencana kenaikan harga BBM jenis Pertalite sebagai respons atas tingginya harga minyak mentah dunia.
"(Harga Pertalite) lagi dibahas masih dikoordinasikan dengan Pak Airlangga (Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian)," ujar Arifin.
Sebelum keputusan itu resmi terbit, kata Arifin, pemerintah harus mengubah peraturan presiden terlebih dahulu. Selain itu, pemerintah juga akan mensosialisasikan terlebih dahulu mengenai rencana kenaikan harga Pertalite tersebut untuk mengurangi kepanikan berbelanja masyarakat.
Sampai Juli 2022 Pertamina melaporkan konsumsi Pertalite telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.
Jika pemerintah menambah kuota BBM subsidi, maka beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp 600 triliun. Namun, bila kuota BBM subsidi tidak ditambah, maka kelangkaan di sejumlah SPBU akan terjadi dan berpotensi menyulut keresahan sosial.
BISNIS | ANTARA
Baca: Jokowi Beberkan Penyebab RI Tak Impor Beras Konsumsi 3 Tahun Terakhir
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini