TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan beban subsidi bahan bakar minyak atau BBM akan terus membengkak dalam anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) jika pengendalian penyalurannya tak diubah. Ini karena impor BBM masih sangat besar.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu menjelaskan hingga saat ini masih terjadi kesenjangan antara konsumsi dan kemampuan nasional dalam memproduksi BBM. Kebutuhan BBM per hari di Indonesia, kata dia, mencapai 1,6 juta barel sementara produksinya hanya 0,6 juta barel.
"Artinya kita impor minyak mentah BBM per hari lebih kurang 1 juta barel," kata dia dikutip dari keterangannya, Senin, 15 Agustus 2022.
Selain BBM, dalam konteks pemenuhan kebutuhan energi nasional, Zulhas mengatakan, Indonesia juga masih harus mengimpor liquified petroleum gas (LPG) hingga 7 juta metrik ton. Ini akibat kemampuan produksi hanya kisaran 1 juta metrik ton sedangkan kebutuhannya 8 juta metrik ton per tahun.
"Semua impor energi minyak dan LPG tentu menguras devisa yang luar biasa. Kuartal I belanja energi 11 koma sekian miliar dolar, mengurangi surplus kita yang seharusnya 35 miliar dolar," ucapnya.
Karena besaran impor tersebut, ditambah bergejolaknya harga-harga energi, seperti minyak dan gas, akibat konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, subsidi energi pada 2022 telah membengkak sampai lebih dari Rp 500 triliun. Dia memperkirakan, jika tidak ada pengendalian akan bengkak sampai Rp 600 triliun tahun depan.
"Kalau tidak ada perubahan diperkirakan tahun 2023 bisa mencapai Rp 600 triliun. Artinya mendekati 30 persen dari pendapatan APBN kita," ucap Zulhas.
Oleh sebab itu, Zulhas berpendapat permasalahan subsidi BBM ini harus diatasi dengan cara tidak lagi salah sasaran terhadap orang mampu, namun tidak menghilangkan subsidinya karena masih ada kewajiban negara untuk menanggungnya. Caranya dengan menerapkan subsidi langsung.
"Solusi subsidi energi beralih dari berbasis komoditas menjadi subsidi langsung sehingga mempercepat transformasi energi bersih," kata dia.
Menurut Zulhas, pengalihan pemberian subsidi energi dari yang selama ini berbasis komoditas menjadi subsidi langsung bisa dilakukan kepada masyarakat miskin yang mencapai 26 juta orang berdasarkan data BPS terakhir. Kebutuhan konsumsi mereka kata Zulhas adalah 2 kendaraan motor per bulan.
"Dengan subsidi BBM dan LPG warga tak mampu kisarannya antara Rp 500 ribu sampai Rp 900 ribu per bulan. Kita hanya akan menanggung Rp 15 triliun per bulan atau Rp 180 triliun per tahun, jadi banyak yang bisa dikurangi," ucap dia.
Kebijakan ini katanya harus diiringi dengan mempercepat transformasi energi bersih di Indonesia. Ini bisa dilakukan dengan cara percepatan pemakaian kendaraan listrik, memperbanyak kompor listrik bagi rumah tangga, memperluas dan memperbanyak titik-titik pengisian baterai kendaraan listrik, dan memperbanyak pasokan listrik dari energi baru dan terbarukan.
"Transformasi energi bersih ini bakal menggunakan banyak bahan yang berasal dari dalam negeri kita. Dengan demikian sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja kita," kata Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu.
Baca Juga: Pengiriman Pertalite di Sejumlah SPBU Sempat Terlambat, Pertamina Bantah Ada Kelangkaan