TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda memperkirakan kenaikan tarif ojek online (ojol) bakal memicu inflasi tinggi. "Inflasi transportasi per Juli 2022 sudah cukup tinggi, di mana secara tahunan sudah di level 6,65 persen, tertinggi kedua setelah makanan, minuman, dan tembakau," ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis, 11 Agustus 2022.
Menurut dia, upaya pemerintah menjaga inflasi tetap rendah misalnya dengan mengalokasikan subsidi BBM hingga subsidi pangan menjadi kontradiktif karena kenaikan tarif ojol akan memberatkan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah belum mempertimbangkan berbagai aspek atau sisi lain dari kebijakannya tersebut.
Padahal, kata Nailul, kenaikan tarif ojol selain bakal mengerek inflasi, juga akan mendorong masyarakat pengguna ojol beralih moda transportasi lain atau bahkan kendaraan pribadi. “Jika menggunakan kendaraan pribadi akan menambah kemacetan dan kerugian ekonomi akan bertambah,” tuturnya.
Sementara transportasi online, termasuk ojek online, adalah multisided-market yang memungkinkan banyak jenis konsumen yang dilayani oleh sebuah platform. Oleh karena itu, seharusnya yang dilihat bukan hanya dari sisi mitra pengemudi ojek online saja, namun juga dari sisi konsumen atau penumpang.
Sesuai hukum ekonomi, kata Nailul, dari sisi konsumen penumpang akan ada penurunan permintaan. Sudah pasti pengemudi yang akan rugi karena secara total pendapatan akan menurun. "Maka hal ini kontradiktif dengan kesejahteraan mitra driver yang ingin dicapai dengan adanya perubahan tarif ini,” ucapnya.
Selain itu, kenaikan biaya transportasi juga bisa bakal mendatangkan multiplier effect lain karena membebani usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Misalnya, industri makanan-minuman di skala UMKM yang bisa menaikkan harga.