TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Gulat Manurung menilai regulasi penghapusan pungutan ekspor (PE) dan tidak diperpanjangnya aturan flush-out (FO) tak lantas mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) sawit. Karena ada faktor lain yang sangat berperan dalam menentukan harga TBS, utamanya adalah harga patokan crude palm oil atau CPO.
"Dilema regulasi serba salah dan ini menyangkut nasib 17 juta petani sawit," ujarnya ketika dihubungi, Senin malam, 8 Agustus 2022.
Gulat menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi harga CPO di antaranya adalah kebijakan wajib pasok minyak goreng domestik (DMO) dengan harga penjualan yang ditentukan (DPO), Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE).
Adapun rujukan harga yang berdasarkan harga tender CPO dari PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), kata dia, seharusnya berdasar pada harga referensi Kementerian Perdagangan, sesuai Permendag nomor 55 tahun 2015.
Selain itu, Permentan nomor 1 tahun 2018, yang mengatakan bahwa harga TBS yang ditetapkan di 22 provinsi penghasil sawit hanya berlaku bagi harga TBS milik petani bermitra atau petani plasma dan swadaya yang melakukan kemitraan. Sedangkan petani bermitra itu di Indonesia tidak lebih dari 7 persen, selebihnya adalah petani swadaya atau mandiri.
"Tentu petani yang 93 persen ini menjadi bulan-bulanan dari 1.118 PKS (pabrik kelapa sawit) seluruh Indonesia," ujar Gulat. PKS pun kerap memotong timbangan TBS petani hingga 20 persen.