BIla dirupiahkan, kata Melati, kerugian negara bisa mencapai Rp 3,35 triliun per tahun (asumsi kurs Rp 14.850 per dolar AS).
Menurut Melati, praktik ilegal itu terjadi lantaran impor baja yang masuk ke pasar dalam negeri turut mengisi pangsa pasar yang seharusnya dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri. Dengan kondisi ini, pangsa pasar produsen baja domestik menjadi terus tergerus oleh produk impor dengan harga murah atau predatory pricing. Akibatnya, terjadi kerugian dan penurunan utilisasi produsen baja nasional.
Oleh karena itu, kata Melati, industri baja nasional telah mengajukan berbagai upaya dalam rangka pengendalian impor produk baja ilegal. Salah satunya untuk produk HRC, pengusaha domestik telah berhasil mengajukan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Berikutnya, menurut dia, yang perlu menjadi perhatian dan segera dilakukan untuk mengendalikan impor baja adalah pembentukan neraca komoditas baja. Neraca komoditas itu diharapkan bisa menjadi instrumen pengawasan yang transparan. Salah satu bentuk akhirnya adalah diharapkan diketahui produk-produk apa saja yang telah diproduksi oleh produsen baja nasional, dan produk tersebut tak lagi diberikan izin impor oleh pemerintah.
Sebelumnya Menteri Zulkifli Hasan menyatakan pihaknya tengah bersiap memberantas praktik impor baja ilegal. "Tunggu tanggal mainnya, ada beberapa pelaku baja ilegal kita akan sikat!" ujarnya usai melepas ekspor baja ke Selandia Baru dari PT Gunung Raja Paksi (GRP) di Bekasi, Rabu, 26 Juli 2022.
Tapi kala itu ia enggan menjelaskan lebih lanjut perihal pelaku baja ilegal yang akan diperiksa dan berapa besar kerugian negara akibatnya. "Saya tahu, memang baja harus didukung," ucapnya.
Baca: RI dan Korsel Sepakati 4 Kerja Sama Infrastruktur di IKN, Salah Satunya Tol Bawah Laut
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.