“Jika kita berangkat dari sana, maka separuh dari ekosistem yang ideal itu sudah terbentuk,” kata pria yang disapa Komang ini.
Sebagai Sekjen AMSI, Wahyu mengaku sering bertemu dengan penerbit media lokal di daerah dan mendengar keluhan mereka. Mereka mengeluh ekosistem sekarang dinilai tidak memberikan ruang atau insentif bagi mereka, bagi media yang benar. Para pemberi iklan seringkali tutup mata tentang garis api. Mereka tidak mau memberikan insentif untuk media yang berusaha kritis. Media yang menjadi watchdog, dan mengkritik pejabat daerah justru tidak mendapat kue iklan.
Sementara Sasmito melihat hal itu akibat ketidaktransparanan pihak pemberi iklan. Pemerintah daerah hanya mau beriklan pada kelompok media tertentu, atau kelompok yang hanya menjadi bagian lingkaran politik mereka.
“Jangan sampai ini menjadi kesepakatan sebagian pihak, apalagi menjelang Pemilu 2024,” katanya.
Diskusi ini juga menyoroti gejala banyaknya media lokal yang bergantung dari pemerintah daerah. Menurut keduanya hal itu sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah jika iklan tersebut mempengaruhi independensi dan mutu media dan jurnalisnya.
Sasmito berharap semua pihak hendaknya mendorong agar iklan tidak dikaitkan dengan pemberitaan. Ia mengatakan perlu ada political will, misalnya, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan edaran agar pemerintah daerah tidak mengaitkan iklan dengan pemberitaan.
Mengatasi ketidakidealan ekosistem media, Dewan Pers bersama sejumlah mitra sedang mengupayakan adanya pemeringkatan media. Baik terhadap media mainstream atau media alternatif. Selama ini pemeringkatan media, hanya dilihat dari berapa banyak orang melihat dan membaca, seperti dilakukan Alexa.
Kali ini pemeringkatan akan dilakukan dengan menambah banyak indikator seperti memasukan, bagaimana media memenuhi kode etik Jurnalisme. Termasuk bagaimana media itu memenuhi standar sebagai perusahaan pers, seperti memberikan gaji yang layak dan asuransi.
Selain itu, pemeringkatan ini diharapkan bisa membantu masyarakat untuk memilih media yang berkualitas. Juga dari sisi pengusaha dan pemerintah, jika ingin beriklan bisa melihat apa saja media yang berkualitas sehingga transparansinya harus dibangun.
Pada kesempatan itu Qaris Tajudin selaku moderator diskusi menyampaikan bahwa saat ini Tempo Institute tengah membuka peluang bagi 20 media daerah untuk mengikuti fellowship dan pelatihan bagi media kecil di daerah. Selain pelatihan, juga ada pendanaan untuk usulan proyek perbaikan media sebesar Rp100 juta. Kegiatan itu di bawah program bernama Independent Media Accelerator, di mana pendaftaran dapat dilihat di media sosial dan website Tempo Institute.
Baca Juga: Kuliah Umum Politeknik Tempo, Cakap dalam Industri Media Digital
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.