TEMPO.CO, Jakarta -Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Abdi Suhufan menuturkan dalam semester satu tahun 2022, telah ditemukan 79 kapal yang melakukan praktik penangkapan ikan secara ilegal.
Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil melakukan penangkapan kapal, yang terdiri dari 10 kapal ikan asing dan 69 kapal ikan Indonesia.
Banyaknya kapal ikan Indonesia yang tertangkap mengindikasikan bahwa ancaman ilegal fishing saat ini berasalam dari dalam negeri. “Dari 69 kapal ikan Indonesia yang tertangkap hampir semuanya adalah kapal dengan izin daerah” kata Abdi melalui keterangan tertulis pada Jumat, 15 Juli 2022.
Artinya, kata Abdi, terjadi ketimpangan dalam hal tata kelola perikanan Indonesia antara pusat dan daerah. Ditemukan sejumlah pelanggaran atas kapal ikan yang ditangkap tersebut antara lain tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan, Surat Perintah Berlayar dan Surat Laik Operasi. Ia menduga selain 69 kapal ikan yang tertangkap tersebut ada banyak kapal ukuran di bawah 30 gross ton (GT) yang beroperasi tanpa izin.
“Di laut Arafura kami menduga ada 3.000 kapal ikan dan perahu beroperasi tanpa surat izin dan registrasi. Pemerintah jangan menutup mata atas kondisi ini karena praktik ini telah berlangsung lama," kata Abdi.
Menurutnya, perizinan kapal di bawah 30 GT seharusnya menjadi perhatian pemerintah provinsi agar tidak menimbulkan masalah. Dirinya mengusulkan agar KKP, pemerintah provinsi Maluku dan Papua dapat membuat program bersama. Program yang dimaksud berbentuk pembukaan gerai perizinan pada lokasi sentra nelayan di Aru, Merauke dan Timika.
Ia berujar layanan perizinan kapal daerah di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 semestinya lebih lebih didekatkan kepada nelayan dan pelaku usaha pada sentra nelayan di Aru, Merauke dan Timika
Adapun peneliti DFW Indonesia Subhan Usman menyoroti lemahnya tata kelola perikanan. Terutama, keterdaftaran kapal dan perizinan kapal dibawah 30GT yang disebabkan oleh birokrasi berbelit dan pelayanan publik sektor perikanan yang belum membaik. “Untuk mengurus surat ukur kapal, pas kecil, pas besar dan SIPI pemilik kapal dan pelaku usaha harus berurusan dengan Syahbandar atau KSOP, Dinas Perikanan kabupaten dan Dinas Perikanan Provinsi tanpa kejelasan biaya dan waktu” kata Subhan.
Karena itu menurutnya kondisi tersebut membuat banyak pemilik kapal memilih tidak mengurus izin. Alasannya, pemilik kapal berspekulasi dalam melakukan usaha penangkapan ikan dengan resiko ditangkap. Ia berpendapat jika kapal tak berizin banyak beroperasi, maka akan berimplikasi pada rendahnya kualitas pendataan hasil tangkapan.
Menurut Subhan, kegiatan perikanan ilegal akan bertautan dengan pelaporan hasil tangkapan. Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku 2021 lalu menyebutkan terdapat sekitar 500.000 ton ikan asal Maluku yang tidak terdata.
Baca Juga: Bagaimana Jemaah Haji Indonesia Pergi ke Mekkah Sebelum Ada Pesawat?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.