Harga minyak jenis Brent itu turun tajam sejak mencapai US$ 139 per Maret 2022 lalu yang mendekati level tertinggi sepanjang masa pada 2008. Penurunan harga komoditas itu karena investor telah menjual minyak akhir-akhir ini di tengah kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga agresif untuk membendung inflasi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekan permintaan minyak.
Dari sisi pasokan, persediaan minyak AS naik lebih dari yang diharapkan dalam jeda ringan dari ketatnya pasar. Data pemerintah menunjukkan stok minyak mentah komersial AS naik 3,3 juta barel ketimbang ekspektasi untuk penarikan moderat dalam stok.
Sebelumnya diberitakan laju inflasi AS per Juni 2022 meroket ke level 9,1 persen di antaranya kenaikan harga bensin dan masih tingginya harga makanan. Hal tersebut diduga bakal makin mendorong bank sentral atau The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin akhir bulan ini.
Akibatnya, muncul ekspektasi untuk pertumbuhan yang lebih rendah yang kemudian memicu pelarian ke dolar AS untuk alasan keamanan. Indeks dolar pun mencapai level tertinggi 20 tahun pada Rabu kemarin, 13 Juli 2022, yang pada gilirannya membuat pembelian minyak lebih mahal untuk pembeli non-AS.
Sementara itu, faktor eksternal seperti pembatasan Covid-19 yang diperbarui di Cina juga membebani pasar minyak dunia. Sebab, impor minyak mentah dari negara tirai bambu itu merosot ke level terendah dalam empat tahun pada Juni.
Analis Pasar Energi CHS Hedging, Tony Headrick, menyatakan saat ini ada masalah di sisi permintaan minyak dunia, tapi fluktuasi dolar AS membuat tekanan harga pada semua komoditas menjadi menurun. "Ada perubahan mentalitas selama beberapa minggu terakhir," katanya.
BISNIS | ANTARA
Baca: Harga TBS Jeblok, Pengusaha Sawit: Sudah Banyak yang Konsultasi ke Rumah Sakit Jiwa
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.