TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG non-subsidi merupakan langkah yang tepat. Menurut dia, kenaikan harga Pertamax dan elpiji 12 kilogram, dan Bright Gas dapat mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Ya saya kira sebagai salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban APBN. Untuk subsidi dan kompensasi saya kira rencana untuk menaikan pertamax ke atas dan LPG non-subsidi menurut saya ini langkah yang tepat," ujarnya saat dihubungi, Senin, 11 Juli 2022.
Fahmy menuturkan konsumen Pertamax merupakan orang kaya dengan mobil-mobil mewah yang seharusnya menggunakan jenis BBM Pertamax. Demikian pula dengan elpiji non-subsidi, konsumennya mayoritas adalah rumah tangga menengah ke atas dengan jumlah yang relatif sedikit.
Misalnya harga BBM jenis Pertamax dinaikkan, kata dia, kemungkinan proporsinya kurang dari 5 persen terhadap laju inflasi. Sehingga, kebijakan itu tak lantas memicu lonjakan inflasi.
"Kenaikan BBM non-subsidi, kenaikan LPG non-subsidi ini, punya kontribusi inflasi tetapi kecil. Hampir tidak berpengaruh. Maka saya katakan ini cukup tepat dan realistis," tuturnya.
Sementara itu, harga Pertamax sendiri masih di bawah harga pasar yaitu Rp 12.500 per liter. Jika kenaikan harga tidak terlalu besar, menurutnya kebijakan ini justru akan mendorong migrasi konsumen dari Pertalite ke Pertamax secara sukarela.
"Menurut saya itu juga tepat, karena ini akan mendorong migrasi secara sukarela dari konsumen Pertalite ke Pertamax, kalo selisihnya enggak terlalu besar," ucapnya.