TEMPO.CO, Jakarta - Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi bisa memperbaiki arus kas PT Pertamina (Persero). Sebelumnya, perusahaan minyak negara menaikkan BBM untuk jenis Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite sesuai dengan harga keekonomian.
"Bagi Pertamina, kenaikan harga BBM Nonsubsidi bisa memperbaiki cash inflow. Sedangkan, bagi Pemerintah bisa menurun dana kompensasi," ujar Fahmy saat dihubungi pada Senin, 11 Juli 2022.
Fahmy melihat kebijakan penetapan harga BBM nonsubsidi sesuai dengan harga pasar sangat tepat dan wajar. Asal, kata dia, Pertamina harus memastikan jika harga minyak dunia turun, tarif untuk produknya juga menyesuaikan penurunan tersebut.
Adapun bagi ekonomi, Fahmy memperkirakan kenaikan harga BBM nonsubsidi tak akan terlampau menimbulkan gejolak sosial. Lantaran jumlah konsumennya kecil, pengaruhnya terhadap laju inflasi juga tak akan terlampau terlihat.
"Jumlah konsumen Pertamax ke atas proporsinya kecil dan kebanyakan golongan menengah ke atas. Biasanya orang kaya tidak suka gejolak," ujar Fahmy.
Pertamina menetapkan harga baru untuk seluruh produk BBM non-subsidi dan non-kompensasi mulai tanggal 10 Juli 2022. Untuk Pertamax Turbo (RON 98), terdapat penyesuaian harga menjadi Rp 16.200 dari sebelumnya Rp 14.500.
Sedangkan harga Pertamina Dex (CN 53) menjadi Rp 16.500 dari sebelumnya Rp 13.700. Harga Dexlite (CN 51) naik dari Rp 12.900 menjadi Rp 15 ribu per liter. Kenaikan berlaku untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.
Meski demikian, Pertamina tidak menaikkan harga jual untuk produk BBM bersubsidinya, seperti Pertalite dan Solar. Begitu juga dengan Pertamax yang mendapatkan kompensasi pemerintah, harga jualnya tetap Rp 12.500 per liter.
Apabila dijual tanpa subsidi dan mengikuti harga keekonomian, harga Solar bisa menembus Rp 18.150 per liter. Jika saat ini Solar dijual Rp 5.150 per liter, pemerintah berarti memberikan subsidi Rp 13 ribu per liter.
Sedangkan untuk Pertalite, harga keekonomiannya menembus Rp 17.200. Bila saat ini harga per liter dijual Rp 7.650, artinya pemerintah memberikan subsidi Rp 9.550 per liter. Sedangkan untuk Pertamax, harga keekonomiannya adalah Rp 17.950.
Dengan demikian, pemerintah memberikan kompensasi senilai Rp 5.450 untuk menutup gap harga Pertamax yang dijual Pertamina denga harga keekonomiannya. "Penetapan harga Pertamax di bawah harga keenomian sangat tepat. Bahkan masih perlu diturkan mendekati harga Pertalite. Tujuannya untuk mendorong migrasi dari Pertalite ke Pertamax pada saat pembatasan Pertalite diterapkan," ujar Fahmy.
Baca juga: Selain BBM, Pertamina Naikkan Harga LPG Nonsubsidi Rp 2.000 per Kilogram
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini