TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna Setia menyatakan pihaknya bakal mengambil sejumlah langkah untuk membuka kembali perdagangan saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. atau GIAA. Sebelumnya saham perusahaan pelat merah itu disuspensi sejak pertengahan tahun 2021.
Nyoman menjelaskan saat ini otoritas bursa tengah menelaah keterbukaan informasi Garuda Indonesia termasuk salinan perjanjian perdamaian final yang akan disampaikan oleh emiten tersebut.
"Terkait pembukaan suspensi saham GIAA, maka Bursa akan melakukan pembukaan suspensi saham GIAA apabila penyebab dilakukannya suspensi telah dipenuhi seluruhnya oleh perseroan yaitu penjelasan terhadap restrukturisasi utang perseroan, termasuk sukuk," ujarnya, Jumat, 8 Juli 2022.
Bursa Efek Indonesia juga akan mempertimbangkan Garuda Indonesia untuk melaksanakan Public Expose Insidentil.
Dalam pengumuman sebelumnya per 18 Juni 2021 yang tertuang dalam Peng-SPT-00011/BEI.PP2/06-2021, BEI memutuskan penghentian sementara perdagangan efek PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa menyebutkan, otoritas dapat menghapus saham perusahaan tercatat jika ada kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tersebut.
Adapun peristiwa negatif yang dimaksud adalah yang secara finansial atau hukum berpengaruh terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka. Dan akibat peristiwa itu, perusahaan tercatat tak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Saham perusahaan yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai tersebut hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.
Sepanjang tahun 2021 lalu, Garuda Indonesia mencatatkan liabilitas atau utang sekitar Rp 199,5 triliun dan rugi Rp 62,55 triliun. Maskapai penerbangan itu juga mencatatkan ekuitas negatif sebesar US$ 6,11 miliar akibat total liabilitas yang mencapai US$ 13,3 miliar berbanding aset yang hanya US$ 7,18 miliar. Jika dirupiahkan, liabilitas tersebut setara Rp 199,5 triliun.