TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengungkapkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) memiliki utang Rp 130 miliar pada para pengusaha retail. Utang tersebut berasal dari selisih harga keekonomian minyak goreng dengan harga jual dalam program penjualan minyak goreng satu harga beberapa waktu lalu.
"Total utang dari selisihnya sekitar 130 miliar," ujar Roy di kantor Kementerian Perdagangan pada Senin, 4 Juli 2022.
Awalnya, kata Roy, pemerintah pada 19 Januari 2022 dini hari mengirimkan pesan pada Aprindo yang meminta penjualan minyak goreng curah kemasan sederhana maupun premiun dalam satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter. Pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 1 tahun 2002 yang menyatakan bahwa selisih harga pokok atau harga keekonomian dengan harga jual ditanggung BPDPKS.
"Jadi saat itu kami serentak melakukan dukungan real dan nyata. Seluruh anggota Aprindo di Jawa bahkan luar Jawa kepulauan ikut sukseskan menjual semua minyak goreng yang ada stok di retail modern, baik kemasan dan premum dengan harga 14.000, satu harga," tutur Roy.
Saat itu, harga pasar minyak goreng berada di Rp 17.260 per liter. Adapun harga jual yang dipatok pemerintah Rp 14.000 itu sebelumnya ditentukan salam rapat terbatas Kementerian Perdagangan dan instansi terkait sengkarut minyak goreng. Artinya ada selisih harga tiap kemasan minyak goreng Rp 3.260 per liternya.
Roy menjelaskan, para pengusaha menjual minyak goreng di bawah harga pasar lantaran patuh pada arahan Kementerian Perdagangan. Para pengusaha juga melakukannya karena ada jaminan BPDPKS bakal membayar selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak goreng itu.
Ia menyebutkan mekanisme di lapangan mengacu pada aturan sebelum 30 Januari 2022. Pada saat itu, semua tanda terima harus sudah selesai. Perhitungan selisih antara retailer dan produsen juga harus selesai karena pada 1 Februari 2022 retail tak bisa lagi mengajukan pelunasan selisih harga tersebut.
Sebab, pada 1 Februari keluar aturan baru yakni Permendag nomor 6 yang mengatur harga minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET). "Pada 1 Februari sudah beda lagi. Sebelum 30 Januari, kami sudah serahkan ke produsen mengenai selisih harga itu," ujar Roy.
Hal tersebut, kata Roy, dilakukan lantaran para pengusaha retail membeli minyak goreng dari produsen dengan harga mahal, yaitu harga pokok penjualan (HPP). Maka selama satu bulan regulasi itu berlangsung, retailer menanggung selisih biaya tersebut dan menunggu pelunasan BPDPKS.
Selanjutnya: Mendag diminta memfasilitasi audiensi dengan BPDPKS.