TEMPO.CO, Jakarta - Civil 20 (C20) mendesak agar para pemimpin G20 mendengarkan dan mengambil tindakan nyata terhadap isu-isu yang secara langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dalam agenda mereka. C20 memaparkan pandemi telah mendorong sedikitnya 20 juta orang masuk ke kondisi rentan kemiskinan ekstrem.
Jumlah ini di luar dari 82,4 juta orang yang harus mengungsi secara paksa dan 161 juta orang yang menderita kekurangan pangan akut.
“Kita perlu mempertanyakan apakah G20 telah mendengar suara rakyat dalam mengatasi krisis multidimensi di seluruh dunia,” kata Koordinator WG Anti-Korupsi C20 Dadang Trisasongko dalam keterangan tertulis, 30 Juni 2022.
Ia mengatakan tindakan business as usual tidak lagi efektif dalam menghadapi tantangan peningkatan risiko sistemik global. Keterkaitan antara krisis kesehatan dan ekonomi, konflik sosial, kerusakan lingkungan, serta perubahan iklim menghambat realisasi pembangunan global. Selain itu, memperparah kesenjangan akses sumber daya dan ketimpangan antar-negara dalam menghadapi pemulihan pasca-pandemi.
C20, yang melibatkan lebih dari 800 perwakilan dan jaringan masyarakat sipil dari berbagai negara di luar anggota G20, menyerukan para pemimpin G20 untuk menegaskan kembali komitmen mereka tidak meninggalkan siapa pun selama masa transisi pasca-pandemi yang telah berdampak sangat serius pada masyarakat di seluruh dunia. Khususnya, masyarakat negara miskin dan negara berkembang.
Dadang mengatakan kepresidenan G20 Indonesia harus mewakili negara-negara berkembang dan kekuatan global selatan serta menyampaikan agenda yang berdampak erat pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Proses pembuatan kebijakan G20 seharusnya bisa lebih transparan.
“Saat ini, implementasi komitmen tetap menjadi tantangan dan isu-isu prioritas terus didiskusikan tanpa masukan yang cukup dari kelompok-kelompok yang paling terpengaruh oleh hasil kebijakan yang direkomendasikan,” katanya.
Pandemi menyebabkan kemunduran bagi kelompok rentan karena 1,6 miliar pelajar dan 73 persen pemuda berusia 18-29 tahun terkena imbas. Mereka terdampak dalam mengakses pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan berkualitas di 112 negara.
Perhatian khusus perlu diberikan pula kepada anak perempuan, siswa penyandang disabilitas, mereka yang berada di daerah bencana yang menghadapi bahaya ganda, dan anak-anak/remaja terpinggirkan lainnya. Selain itu, sektor pendidikan masih menghadapi kesenjangan digital.
Peserta didik yang tidak memiliki akses memadai masih tertinggal dan belum mendapatkan solusi yang tepat. Ketika kualitas pendidikan memburuk, dan proses digitalisasi telah mempercepat transformasi pasar kerja, kaum muda sulit beradaptasi dengan masa depan pekerjaan, sehingga menciptakan 'kesenjangan keterampilan'.
“Kami menyerukan kepada negara-negara G20 untuk mencocokkan retorika mereka dengan tindakan, serta memenuhi janji mereka sebagai pemimpin. Dunia telah menunggu terlalu lama untuk kepemimpinan ini," ucap Dadang Trisasongko.
Sementara itu, Ketua C20 Sugeng Bahagijo mengatakan Presidensi G20 Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, kemanusiaan, dan pendidikan. Caranya melalui pembangunan dan pembiayaan kemanusiaan yang memadai dan berkualitas.
“Sama pentingnya, tidak boleh ada penundaan dalam mengakhiri korupsi, kesetaraan gender, mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), keadilan pajak, serta penyelesaian utang di negara kecil, dan berkembang. Banyak orang di low & middle-income countries (LMICs) mengandalkan kepemimpinan G20," kata Sugeng Bahagijo.
Adapun Koordinator Sub-Working Group Civic Space C20 Gita Damayana mengatakan dunia saat ini tengah menghadapi kemunduran demokrasi. Presidensi G20, katanya, mesti memberikan perhatian serius terhadap isu ruang sipil. C20 menarik perhatian pada fenomena ruang sipil yang terus menyusut secara global yang mempengaruhi kebebasan sipil di semua negara.
“Di antara anggota G20, hanya dua negara yang memiliki ruang sipil terbuka. Sedangkan sisanya, yang mewakili lebih dari setengah populasi dunia, menyempit, terhalang, tertindas, atau tertutup,” kata Gita Damayana.
Melihat berbagai masalah nyata yang dihadapi masyarakat saat ini, C20 meminta para Pemimpin G20 untuk memberikan perhatian yang lebih besar dan mengambil tindakan nyata untuk mengatasi masalah sehari-hari di akar rumput. C20 pun meminta keterbukaan para pemimpin dengan melibatkan masyarakat sipil dalam setiap proses G20.
Baca juga: Pertemuan C20 di Bali Dimulai, Bahas Isu Pajak Global hingga Transisi Energi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.