TEMPO.CO, Jakarta - Ketua tim advokasi Paguyuban Pilot Eks Merpati (PPEM), David Sitorus, meminta pemerintah mengucurkan dana talangan untuk membayar sisa pesangon para mantan karyawan Merpati. Eks pegawai maskapai ekor kuning itu khawatir hak mereka terabaikan setelah Merpati dinyatakan pailit.
"Dalam mekanisnme Undang-undang Kepailitan, pembayaran hak-hak karyawan berupa pesangon dan dana pensiun bukanlah prioritas utama untuk dibayarkan. Bahkan, sangat besar kemungkinan hak-hak karyawan Merpati Air," ujar David dalam keterangan tertulis pada Rabu, 28 Juni 2022.
PT Perusahaan Pengelola Asset (PT PPA) memutuskan, pemenuhan hak eks karyawan PT Merpati Nusantara Airlines akan diatur sesuai dengan Undang-undang Kepailitan sehingga pembayaran pesangon bukan menjadi prioritas utama. David berujar pemenuhan hak-hak karyawan tidak tepat jika diselesaikan menggunakan beleid itu.
Sebab, hak-hak karyawan tersebut adalah hak asasi manusia (HAM) dan negara harus hadir untuk memenuhinya. Ia berujar hak-hak karyawan, yaitu pesangon, gaji tertunggak, dan dana pensiun juga diatur oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 28 D ayat 2 Undang-undang Dasar 1945.
"Dalam pasal tersebut dinyatakan setiap orang berhak untuk untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja," tuturnya.
Ia menjelaskan sesuai dengan Pasal 71 dan 72 Undang-undang HAM dan pasal 28 D ayat 2 UUD 1945, negara melalui pemerintah wajib memenuhi hak tersebut. Merujuk konstitusi negara dan rasa kemanusian, kata David, eks karyawan meminta pemerintah untuk mengucurkan talangan sebesar Rp 318 miliar.
Dana tersebut untuk pesangon yang belum terbayar setelah Merpati memangkas para karyawannya beberapa tahun lalu. Dari jumlah dana itu, sekitar Rp 4 miliar ditujukan untuk pembayaran sisa dana pensiun karyawan.
Di sisi lain, David membandingkan sikap pemerintah yang memberi dana talangan Rp 22 triliun kepada nasabah PT Asuransi Jiwasraya sebagai ganti rugi pemegang premi. Dia juga menyebut dana talangan sebesar Rp 7,5 triliun untuk penyelamatan maskapai Garuda Indonesia.
David meminta adanya perlakuan yang sama untuk Merpati. Sejalan dengan itu, ia berharap hasil penjualan aset-aset Merpati Air digunakan untuk membayar hak-hak para karyawan.
"Baik aset yang akan dijual secara langsung maupun melalui lelang oleh kurator harus diprioritaskan untuk membayar hak kami. Pesangon, gaji tertunggak, dan dana pensiun karyawanyg belum terbayarkan," tutur David.
Dalam rangka perlindungan dan pemenuhan HAM, menurut dia, diperlukan pendampingan dan pengawasan terhadap PT PPA yang selama ini mengelola aset Merpati Air. Selain itu, dibutuhkan pengawasan pada kurator yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya.
Pengawasan atau pendampingan tersebut bisa dilakukan oleh kementerian atau lembaga yang berkaitan, seperti DPR dan Komnas HAM. "Meskipun sudah ada Hakim Pengawas dan Kurator, agar hak eks pilot, pramugari, dan pegawai lainnya benar benar menjadi prioritas pembayaran," ucap David.
Sebelumnya, David mengungkapkan PT PPA telah mengundang kuasa hukum dari karyawan eks Merpati Air serta Direktur PT PPA, Direktur Utama Merpati Air, dan kurator untuk melakukan rapat tertutup pada Kamis, 23 Juni 2022, di kantor PT PPA. David menuturkan rapat tersebut awalnya ditujukan untuk mendengar aspirasi dari perwakilan atau kuasa hukum eks karyawan soal pemenuhan hak-hak eks karyawan yang belum terbayarkan.
Namun, rapat itu bukan untuk mendengarkan aspirasi, melainkan sosialisasi pembayaran pesangon. Sisa pesangon sebesar Rp 318 miliar dan hak lainnya akan diselesaikan melalui mekanisme hukum pailit.
"Hal ini menunjukan bahwa PT PPA tidak memprioritaskan rasa kemanusian dan keadilan bagi eks karyawan Merpati Air yang telah menderita baik kehidupan maupun penghidupannya sejak tahun 2014," tutur David.
Baca juga: Minta Urusan Pesangon Tidak Ikuti UU Kepailitan, Eks Pilot Merpati: Kemungkinan Tak Dibayar
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.