TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investas Indra Darmawan mengatakan Indonesia memasang target ambisius untuk menghadirkan 25 persen mobil listrik dari total penjualan mobil pada 2030. Dia berujar, mobil listrik dan baterainya akan menjadi lokomotif untuk menarik investasi nasional.
“Beda dengan negara lain, kita tidak pakai lama. Tiga bulan lalu kita sudah punya kendaraan listrik pertama, ada di jalan-jalan Jakarta, yang kemudian diikuti oleh produksi-produksi berikutnya” kata Indra dalam Webinar “Ambisi Indonesia Kebangkitan Ekosistem Baterai Kendaraan Listrik” pada Rabu, 29 Juni 2022.
Indonesia, tutur Indra, sudah lebih dulu memiliki mobil listrik dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Mengutip data Kementerian Perhubungan, sudah ada 16 ribu unit mobil listrik di Indonesia.
Sedangkan di seluruh dunia, ada 1,2 miliar mobil yang 1 dari 70 di antaranya adalah mobil listrik. Global menargetkan, ke depan, 1 dari 6 mobil di dunia adalah mobil listrik. Adapun masing-masing negara memiliki realisasi target sesuai dengan kondisinya.
Norwegia misalnya, yang paling terdepan dalam penjualan mobil listrik. Sebanyak 8 dari 9 penjualan mobil adalah mobil listrik.
“Negara-negara Eropa lain, seperti Swedia, Jerman, Prancis, menyusul di belakang Norwegia. Kalau Tiongkok (Cina) itu 16 persen dari total penjualan mobil adalah mobil listrik. Adapun Amerika Serikat hanya 5 persen dan setengahnya dibuat Tesla,” katanya.
Dengan kecepatan ini, target pertumbuhan car sales global untuk mobil listrik pada 2030 seharusnya bisa mencapai 22-35 persen. Namun, melihat realita kondisi sekarang, Indra memprediksi hanya sekitar 14 persen yang terealisasi.
Kondisi ini, kata dia, disebabkan oleh situasi konflik global yang terjadi antara Ukraina dan Rusia yang menyulitkan percepatan produksi mobil listrik dan baterainya akibat pasokan terhambat. “Apakah target bisa dicapai? Sangat berat. Kalau pun bisa sangat berat karena disrupsi rantai pasokan global. Rusia sebagai penghasil mineral komponen baterai listrik, yakni hydrated nickel, terkena sanksi oleh negara Barat,” ucpanya.
Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Arsjad Rasjid berujar, membangun ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia bukan hanya membutuhkan sinergi antara pemerintah melalui BUMN dan swasta. Hal lain yang penting adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola ekosistem kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.
“Pendidikan juga menjadi stakeholders industri electric vehicle (EV) karena isu human capital-nya menjadi kunci dan tantangan juga. Ketika kita mulai merencanakan membangun manufakturingnya, sedangkan yang akan bekerja di sana adalah human capital-nya. Di sisi inilah vokasi menjadi penting,” kata Arsjad.
Menurut Arsjad, kerja sama perusahaan atau investor dengan lembaga akademis menjadi penting untuk membuat keterampilan apa saja yang diperlukan. Tertutama, memasuki dunia industri EV yang baru di bidang pendidikan.
“Karena tanpa manusianya, bagaimana kita bisa mengerjakan semuanya. Dari hulu mulai tambang nikel hingga hilirisasi pengisian daya kendaraan listrik sampai konsumen, kita membutuhkan skill dan ke depannya skill itu penting,” kata Arsjad.
Baca juga: BKPM Berharap Indonesia Jadi Produsen Terbesar Baterai Mobil Listrik Dunia
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.