TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Advokasi Paguyuban Pilot Eks Merpati (PPEM), David Sitorus mengatakan pemenuhan hak-hak karyawan eks PT. Merpati Nusantara Airlines atau Merpati Air tidak bisa hanya dilakukan berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Musababnya, dalam undang-undang tersebut pembayaran pesangon dan dana pensiun bukanlah prioritas utama untuk dibayarkan.
"Sehingga sangat besar kemungkinan hak-hak eks karyawan Merpati Air tidak terbayarkan dan juga penyelesaian melaui mekanisme dalam UU Kepailitan dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya," ujar David melalui keterangan tertulis pada Rabu, 29 Juni 2022.
David menuturkan tidak tepat jika pemenuhan hak-hak karyawan eks Merpati Air diselesaikan dengan menggunakan UU Kepailitan. Musababnya hak-hak karyawan tersebut adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Pemenuhan hak diatur oleh konstitusi negara ini yaitu pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Ia mengungkapkan PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) yang merupakan kreditur dan pemegang saham Merpati Air, telah melakukan rapat tertutup pada hari Kamis, tanggal 23 Juni 2022 di kantor PT PPA. Rapat dihadiri oleh Dirut dan Direktur PT PPA, Direktur Utama Merpati Air, serta kurator dan kuasa hukum dari karyawan eks Merpati Air.
David menuturkan rapat tersebut awalnya ditujukan untuk mendengar aspirasi dari perwakilan atau kuasa hukum eks karyawan Merpati Air soal pemenuhan hak-hak eks karyawan yang belum terbayarkan. Akan tetapi, menurutnya rapat tersebut kenyataannya bukan untuk mendengarkan aspirasi, melainkan sosialisasi dari PT PPA bahwa pembayaran pesangon sebesar Rp 318 milyar dan hak lainnya akan diselesaikan melalui mekanisme hukum pailit.
Menurut David, dalam rapat tersebut Direktur Utama PT PPA menyatakan bahwa penyelesaian pembayaran hak-hak karyawan eks PT.MNA tidak hanya dilihat dari sisi legal tapi juga mengedepankan sisi kemanusian dan keadilan bagi para karyawan eks Merpati Air. Namun pada akhirnya prioritas dalam penjualan aset Merpati Air adalah pemulihan keuangan negara.
"Hal ini menunjukan bahwa PT PPA tidak memprioritaskan rasa kemanusian dan keadilan bagi eks karyawan PT. MNA yang telah menderita baik kehidupan maupun penghidupannya sejak tahun 2014," tutur David.
Ia berujar PT PPA telah mengucurkan dana sebesar Rp 300 milyar pada 2008, lalu Rp 561 milyar pada 2011, dan Rp 500 milyar pada 2016 untuk melakukan restruksturisasi dan revitalisasi Merpati Air. Namun, PT PPA gagal melakukan restruksturisasi dan revitalisasi Merpati Air yang mengakibatkan kerugian negara Rp 1,36 triliun. Hal itu, menurutnya justru membebankan pemilik keuangan negara kepada eks karyawan Merpati Air.
Menurut David, pernyataan Direktur PT PPA dalam rapat pada tanggal 23 Juni 2022 sangat bertentangan dengan pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir yang menyatakan pailitnya Merpati Air agar pembayaran pesangon para pekerja dan para eks pilot terselesaikan.
“Hal ini semakin menimbulkan ketidakpastian mengenai pembayaran hak-hak karyawan eks Merpati Air," tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Eks Karyawan Merpati Sebut Pemeritah Tak Niat Bayar Pesangon Rp 318 Miliar
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini