TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto menjelaskan penyebab harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjerembab. Harga TBS anjlok meski pemerintah sudah membuka keran ekspor sebulan lalu.
“Anjloknya harga TBS sawit saat ini ibarat keran yang dibuka tetapi belum keluar penuh airnya,” kata Herusaat dihubungi Jumat, 24 Juni.
Ia menjelaskan rendahnya harga TBS sawit tersebab oleh arus keluar crude palm oil (CPO) Indonesia yang belum lancar setelah larangan ekspor dicabut pada 23 Mei. Jumlah TBS keluar dari pabrik, kata dia, saat ini belum maksimal.
Sejalan dengan itu, pabrik kelapa sawit (PKS) pun saat ini masih membatasi serapan TBS petani sawit swadaya. Musababnya, mereka mengutamakan penyerapan TBS dari perkebunan inti dan plasma milik mereka untuk mengisi tangki.
“Jadi mereka mengutamakan itu dulu karena kan tangki mereka ada yang menjelang penuh, tapi ada yang memang sudah mulai keluar,” katanya.
Meski begitu, tidak semua PKS memiliki industri hilir untuk menyerap hasil olahan TBS sehingga mereka mengandalkan pesanan yang berjalan lambat. Sementara itu, PKS dengan industri hilir memungkinkan penyerapan TBS lebih cepat. Tak hanya itu, kondisi pasca-pencabutan larangan ekspor juga belum kembali normal.
Ia menceritakan momen saat mengecek langsung PKS di Sumatra Barat yang memang memiliki industri hilir. Tangki PKS di Sumatra Barat, katanya, sudah mulai berkurang setengahnya setelah 26 ribu ton ekspor tujuan Pakistan keluar. Sedangkan di Lampung, ada dua tipe PKS yang memiliki industri hilir dan tidak. PKS dengan industri hilir cenderung cepat mengosongkan tangki, sedangkan mereka yang tidak hanya mengandalkan jatah.
“Jadi mereka (PKS non-industri hilir) mengandalkan jatah dari eksportir CPO atau jatah dari industri hilir di luar PKS mereka. Jadi keluarnya CPO dari tangki-tangki PKS itu belum lancar seperti sebelum pelarangan ekspor,” katanya.
Perihal pemberitaan penutupan 11 PKS di Lamandau, Kalimantan Tengah, Heru mengatakan sebetulnya pabrik tersebut tidak tutup. Pabrik memang berhenti menggiling TBS dari petani swadaya karena mereka mendahulukan stok dari kebun inti dan plasma mereka.
“Sebenarnya mereka tidak tutup, tetapi masih beroperasi, hanya saja yang mereka giling itu dari kebun inti sama plasmanya karena kan keluarnya belum seperti dulu,” tuturnya.
Ia tidak memungkiri harga TBS anjlo akibat dampak supply dan demand yang tidak seimbang. Saat ini, permintaan dari TBS masih sedikit sehingga terjadi over-supply yang memaksa pabrik mengambil TBS sebatas kemampuan tampungnya.
“Karena pada saat larangan ekspor itu berlaku kan mereka tetap giling. Setelah larangan ekspor dicabut, CPO belum keluar semua, Flush Out-nya itu juga belum keluar semua,” ucap dia.
Heru belum bisa memastikan berapa ton stok TBS yang oversupply. Namun ia mengatakan PKS akan memastikan penyerapan dari kebun inti dan plasma milik mereka sebelum menyerap milik petani sawit swadaya. Ia mendata saat ini terdapat 1.122 pabrik kelapa sawit.