TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia akan menerapkan cap and trade tax dan offset atau pajak karbon untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada Juli 2022. Pembangkit listrik tenaga batu bara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan.
"Indonesia mencoba membuka inovasi dengan penerapan cap and trade tax di sektor pembangkit listrik yang tidak memungkiri adanya mekanisme lain yang lebih efisien atau lebih efektif," kata Airlangga dalam diskusi virtual, Senin, 20 Juni 2022.
Sedianya, pajak karbon diterapkan mulai April lalu. Namun pemerintah menunda selama tiga bulan untuk mempersiapkan aturan teknis pelaksanaannya.
Besaran pajak karbon diatur dalam Pasal 13 Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Berdasarkan beleid tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati besaran tarif pajak karbon ialah paling rendah Rp 30,00 per kilogram.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pada 2022 hingga 2024, pajak karbon diterapkan untuk sektor pembangkit listrik tenaga atau PLTU batu bara.
Kemudian pada 2025, implementasi pengenaan pajak karbon dilakukan secara penuh dengan tahap perluasan sektor sesuai dengan kesiapan masing-masing industri. Airlangga berujar, pajak karbon adalah instrumen yang bertujuan mengubah perilaku masyarakat untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau.
"Sambil mendorong perkembangan rendah karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien rendah karbon dan ramah lingkungan," ujarnya.
Adapun Airlangga memastikan aturan turunan UU HPP berupa rancangan Peraturan Menteri Keuangan untuk implementasi pajak karbon masih disusun. Sebelumnya, pemerintah juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.
Perpres tersebut menjadi dasar penetapan berbagai instrumen nilai emisi karbon, seperti emisi trading sistem atau perdagangan emisi dan pembayaran berbasis kinerja. "Di level teknis tentu pemerintah sedang mempersiapkan peraturan turunan dari Perpres tersebut," kata Airlangga.
Meski saat ini Indonesia lebih terarah pada penanganan dampak inflasi global yang telah mendorong kenaikan commodity price dan sangat membebani cost living, Airlangga mengatakan pemerintah tidak boleh lengah. Isu perubahan iklim, kata dia, masih krusial. Terutama, perubahan iklim akibat dari el nino maupun la nina.
Dia mengatakan komitmen Indonesia untuk ikut serta mencapai target penurunan emisi sesuai dengan Paris Agreement membutuhkan pendanaan yang besar. Carbon pricing atau nilai ekonomi karbon merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mencegah dampak perubahan iklim dari sisi financing atau pendanaan.
Baca juga: Cara Garuda Bayar Utang ke Kreditur yang Nilainya Hampir Rp 143 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.