TEMPO.CO, Jakarta - Pasar modal Indonesia dianggap masih cukup kuat menahan sentimen kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed. Pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75 persen.
Founder Traderindo.com, Wahyu Tri Laksono, melihat indeks masih mendekati level 7.000 kendati koreksi tetap terjadi. "IHSG masih cukup lumayan walau terkoreksi. Tapi, masih di sekitar level area high-nya dekat 7.000," kata Wahyu kepada Tempo, Ahad, 19 Juni 2022.
Pada sesi pertama perdagangan hari ini, IHSG ditutup melemah 48,12 poin ke level 6.888,84 setelah dibuka positif. Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, IHSG turun 2,11 persen menjadi 6.936,97 dari angka pekan sebelumnya yang sebesar 7.086,65.
Jika dibandingkan dengan awal tahun, IHSG naik 4,08 persen atau 271,66 poin. Angka itu juga relatif menguat setelah indeks terperosok paling dalam ke posisi 6.597 pada 13 Mei lalu.
Wahyu melihat kuatnya pasar modal salah satunya didukung oleh fundamental domestik Indonesia yang cukup baik. Misalnya, rilis data neraca perdagangan yang tinggi. Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 19,79 miliar selama Januari-Mei 2022.
Angka ini jauh lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatat surplus US$ 10,51 miliar. Surplus perdagangan Januari-Mei 2022 ditopang surplus sektor nonmigas US$ 29,35 miliar dan defisit sektor migas US$ 9,56 miliar.
Secara umum, Indonesia masih diuntungkan dengan tingginya harga komoditas. Kondisi itu berkebalikan dengan data perekonomian di Amerika Serikat yang cenderung lebih buruk, khususnya inflasi. Karena itu, The Fed melakukan normalisasi guna mengendalikan inflasi dan memperbaiki perekonomian Amerika.
"Ancaman terhadap rupiah dan IHSG memang masih wajar akibat sentimen global. Namun harapannya saat sentimen Amerika dan Eropa memburuk, filosofi dasarnya kapital tidak bisa selamanya dipendam. Kapital harus di investasikan, harus mengalir, dan semoga aliran tersebut masuk ke IHSG sehingga walaupun IHSG terkoreksi, tidak ambyar," ujar dia.
Wahyu mengatakan dalam keadaan inflasi melonjak di berbagai negara, pergerakan modal akan kembali ke relativitas. Menurut wahyu, modal pada akhirnya akan bergerak ke tempat yang lebih baik. Misalnya, yang memberikan imbal hasil dan valuasi yang baik.
"Hukumnya apa yang naik akan turun. Kapan kita akan turun? kalau valuasi sudah cukup. Tapi antara inflasi, fundamental, dan valuasi (pasar modal) kita lebih baik," ujar Wahyu.
Ke depannya, Wahyu memandang rupiah memang masih mungkin melemah ke Rp 15.000-16.000. IHSG pun bisa turun ke level 6.600-6.500. Meski begitu, situasi tersebut bukan berarti trennya bakal bearish.
"IHSG masih konsolidasi sedikit korektif sementara ini, wajar apalagi setelah cetak rekor. Kecuali break di bawah 6.500, akan cancel bullish outlook menjadi terbuka potensial bearish lanjut ke 6.000," ucap dia.
Baca juga: Samuel Sekuritas Prediksi IHSG Menguat dalam Jangka Pendek ke 7.050
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.