TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani membeberkan pelbagai hambatan yang menyebabkan okupansi atau tingkat keterisian kamar hotel belum 100 persen pulih. Ia menyebut salah satu penyebabnya adalah mahalnya harga tiket pesawat.
"Faktor okupansi belum meningkat itu karena harga tiket pesawat mahal. Ini pengaruh dari sisi mobilisasi," ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Ahad, 19 Juni 2022.
Harga tiket pesawat penerbangan niaga berjadwal untuk kelas ekonomi melonjak sejak Lebaran 1443 Hijriah. Kenaikan didorong oleh meningkatnya harga avtur, pengenaan tuslah, dan kelangkaan pesawat akibat lessor-lessor menarik armada yang dioperasikan oeprator selama pandemi.
Selain faktor harga tiket pesawat, Haryadi menyebut pemulihan sektor perhotelan terjadi karena pemerintah masih membatasi anggaran belanjanya. "Pasar pemerintah kalau di sektor hotel itu bisa 30 persen. Kalau APBN dan APBD belum full, itu salah satu faktor yang masih ngerem," kata Haryadi.
Kemudian, faktor kenaikan harga bahan pangan turut menjadi kendala. Haryadi mencontohkan harga minyak goreng dan gandum yang melonjak belakangan ini. Kedua komoditas itu merupakan bahan baku utama untuk catering hotel dan menu-menu di restoran.
Walau harga bahan baku terkerek, Haryadi mengatakan pelaku usaha tidak bisa serta-merta menaikkan harga produk makanan maupun sewa kamar. Sebab, daya beli masyarakat belum terlampau pulih setelah pandemi Covid-19.
Walhasil, pengusaha terpaksa mengurangi keuntungan. "Kan kami enggak bisa juga naikkan harga dengan serta-merta. Kita lihat dari kemampuan masyarakatnya, sekarang masih recovery," kata Haryadi.
Haryadi mengungkapkan hingga semester I 2022, tingkat okupansi hotel baru mencapai 60 persen dari kondisi normal 2019. Kendati begitu, pertumbuhan tingkat keterisian kamar menunjukkan gejala-gejala yang positif.
Baca juga: Pengusaha Ungkap Dampak Kenaikan Harga Pangan ke Bisnis Hotel dan Restoran
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.