"Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi ini kebutuhan terhadap migas akan turun sehingga dapat mendorong harga minyak juga bisa turun," tambahnya.
Keempat, perusahaan-perusahaan minyak dunia mempercepat penggunaan teknologi decarbonisasi, sehingga lapangan-lapangan yang masih bisa ditingkatkan produksinya mampu mensuplai minyak dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Hal tersebut menurut Arcandra akan memberikan sinyal positif kepada pressure group yang selama ini menyuarakan keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan. Inisiatif-inisiatif migas yang ramah lingkungan diperlukan agar kebutuhan minyak selama masa transisi bisa dipenuhi sehingga harga tidak bergejolak.
Kelima, mempercepat produksi biofuel dengan feedstock (bahan baku) yang tidak bersaing dengan bahan makanan. Dengan segala tantangan yang ada, memang tidak mudah untuk mewujudkan biofuel sebagai pengganti fossil fuel. "Paling tidak usaha ini harus terus menerus dicarikan terobosan agar tantangan dari segi bahan baku dan harga bisa teratasi. Alternatif akan adanya biofuel yang bisa mensubstitusi fossil fuel diharapkan bisa menstabilkan harga minyak dunia," tambahnya.
Dari lima faktor di atas, terlihat bahwa tidak mudah mencarikan jalan keluar agar harga minyak bisa stabil pada angka yang wajar. Inilah dunia energi yang berkelindan antara teknologi, komersial dan geopolitik. Tidak bisa hanya memakai kacamata yang sempit.
Memahami teknologi akan membantu kita bahwa kemampuan manusia masih sangat terbatas untuk mencari solusi terbaik agar kebutuhan energi yang ramah lingkungan bisa terwujud. Memahami sisi komersial dari bisnis energi bisa membantu kita untuk lebih berhemat dalam penggunaan energi terutama dari sumber yang tidak terbarukan.
"Memahami geopolitik dunia paling tidak bisa membantu kita untuk mengerti gejolak harga minyak dunia dari sisi politik antar negara," kata dia.
Baca: Harga Minyak Turun di Tengah Isu The Fed Akan Naikkan Suku Bunga
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini