“Untuk komponen anoda, elektrolit dan separator itu masih terbuka investor untuk bisa masuk dan memproduksi di dalam negeri ketika sel baterai beroperasi, katoda kita sudah buat sendiri komponen lain harapannya juga bisa disuplai di dalam negeri tidak mengandalkan impor,” tuturnya.
Menurut dia, sejumlah investor asal Jepang, China dan Eropa sudah menunjukkan ketertarikan mereka untuk berinvestasi pada industri pembentukan komponen anoda hingga elektrolit itu di dalam negeri. Kendati demikian, dia menuturkan sejumlah investor itu masih menunggu perkembangan pengerjaan sel baterai yang belakangan masih dikerjakan oleh perusahaan patungan IBC bersama dengan CBL dan LGES.
“Beberapa pemain untuk anoda atau elektrolit dan separatornya sudah melakukan pendekatan ke kami, investor dari Jepang, China dan Eropa kita sudah berkomunikasi kelihatannya cukup baik nadanya mereka masih wait and see melihat perkembangan bagaiaman IBC mengembangkat sampai sel baterai itu,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menyampaikan total investasi proyek baterai kendaraan listrik secara end-to-end diperkirakan mencapai US$15,3 miliar. Pembangunan pabrik baterai cell menjadi bagian dari rantai nilai ekosistem baterai yang membutuhkan biaya investasi paling besar.
Untuk membangun pabrik baterai cell dengan kapasitas 140 gigawatt hour (GWh) per tahun, biaya capital expenditure (capex) yang dibutuhkan diestimasikan mencapai US$6,73 miliar. Selain sel baterai, pembangunan pabrik katoda juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi, yakni sekitar US$3,83 miliar.
"Yang paling mahal itu masuk ke katoda dan baterai cell karena di situ salah satu teknologi yang presisi sekali. Kalau saya lihat cara mereka bekerja untuk dapatkan konsistensi produk baterai dan kualitas itu hitung-hitungan toleransinya sudah mendekati nano meter presisinya," ujar Toto.
Sedangkan untuk membangun pabrik smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat dengan teknologi RKEF dan HPAL membutuhkan capex sekitar US$2,6-US$2,7 miliar. Sisanya, kebutuhan investasi diperlukan untuk proyek tambang nikel senilai US$160 juta, pabrik daur ulang baterai US$30 juta, dan pengembangan energy storage system (ESS) senilai US$40 juta.
Baca: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik via PLN Mobile
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini