Lebih jauh, Patrick menyebutkan bahwa perhitungan Nadiem dapat segera meraup cuan ketika itu sebenarnya karena Gojek hanya dipatok untuk beroperasi dalam lingkup kecil. Lingkup kecil yang dimaksud adalah hanya beroperasi di Jakarta dengan segelintir pengemudi. Artinya belum terbayangkan Gojek akan besar seperti saat ini.
"(Semua berubah) waktu dia melihat demand Gojek setelah diluncurkan. Bukan bulanan lagi, tapi week per week, tumbuhnya 100 persen. Sampai waktu awal-awal dulu di Jakarta, kalau ada yang ingat, sistemnya down, semua overload," kata Patrick.
Ketika itu baru disadari Gojek butuh suntikan modal jumbo untuk upgrade kapasitas sistem, mengambil SDM bidang engineering dan IT terbaik, serta mulai membangun infrastruktur digital. Strategi bakar uang pun menjadi keniscayaan.
"Karena ini juga saat di mana Gojek mulai perlu volume, terutama sisi supply atau artinya punya lebih banyak pengemudi," tutur Patrick. "Karena pengguna pasti nggak mau ketika pesan Gojek, nunggunya setengah jam. Ketika itu ada insentif untuk pengemudi, di mana biaya ke pengemudi itu lebih besar dari biaya layanan aplikasi."
Patrick mengklaim bahwa bisnis ride-hailing Gojek sebenarnya sudah menuju profit jika insentif itu dikurangi bertahap. Namun, ternyata, ada fenomena lain yang memaksa Gojek menggelar strategi 'bakar uang Jilid II'. Strategi ini kembali dipakai untuk mengimbangi pesaing yang menerapkan strategi banting harga.
"Karena saingan-saingan kita duitnya banyak banget. Saingan kita bakar duit miliaran dolar. Kenapa? Mereka mau mematikan kita (Gojek), mereka pikir market domination, pemenang ambil semua," ujar Patrick.
Ia kemudian menceritakan pernah bertemu dengan investor dari platform pesaing Gojek yang berkata langsung kepadanya. "Patrick, saya punya US$ 250 juta, kamu punya US$ 2 juta, I will kill you tomorrow'," ujarnya mengikuti pernyataan investor tersebut. "Jadi kalau ada yang ingat, ketika era persaingan itu dimulai, pesaing itu bilang 'gocap ke mana pun'. Sementara kita waktu itu charge full market price."