“Saya dan kawan-kawan Serikat khawatir dengan kelangsungan hutan, apakah bisa dikelola oleh entitas baru? Kita berpengalaman lebih dari 60 tahun dengan sumber daya manusia yang mumpuni, modal, dan tata kelola yang baik. Kita punya Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) dan sertifikat FSC yang konsen dengan lingkungan, apa pengelola baru bisa melakukan seperti Perhutani?” ujar Heri.
Heri menambahkan ada kekhawatiran karyawan terkena pemutusan hubungan kerja. Kurangnya kawasan hutan yang dikelola Perhutani hampir setengah, pasti berdampak pada kurangnya jumlah karyawan. Walaupun BOD telah menjamin tidak ada pemutusan hubungan kerja, karyawan masih ragu dan butuh kepastian dari pemerintah.
Karyawan berharap memperoleh kepastian pula dari Kementerian LHK terkait hal tersebut. Serikat khawatir dengan hilangnya 1,1 juta hektar berarti akan terjadi pengurangan karyawan. BOD meyakinkan kita tidak ada pemutusan hubungan kerja, tetapi kita ragu dengan kemampuan finansial setelah terdampak KHDPK.
"Kami membutuhkan jaminan dari Kementerian LHK sebagai pembuat kebijakan” ujar Heri.
Sementara itu Kagama di Perhutani, atau dikenal dengan Ketua Rimbawan Padepokan Bulaksumur atau Kagama di Perhutani, Joko Sunarto mengatakan terjadi keresahan di alumni kehutanan UGM Perhutani terhadap implementasi KHDPK.
"Luas 1,1 juta hektare apakah siap dikelola pihak lain? Kalau terjadi kekosongan pengelola, dikhawatirkan ada pendudukan kawasan hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," kat Joko.
Menurutnya, sejak SK KHDPK terbit dan viral, ada beberapa pihak yang mencoba masuk kawasan hutan dengan memasang patok-patok secara sepihak. Mandor, Mantri, dan Asper harus berjibaku menghadapi itu.
HENDARTYO HANGGI
Baca: Perhutani Sebut Bisa Berikan Lahan Bagi Warga Terdampak Gunung Semeru
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini