Ia juga mengungkit bahwa kepala negara menyebutkan pembenahan prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar terus disederhanakan dan dipermudah.
Oleh karena itu, kata Henry, SPI meminta presiden agar pemerintah membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani. "Selain itu, BPDKS untuk mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil, karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel," ucapnya.
Peristiwa berkurangnya cadangan dan harga minyak goreng yang tidak terkontrol oleh pemerintah ini, yang disusul dengan kebijakan palarangan dan pencabutan kebijakan larangan ekspor CPO, menurut Henry, harus dijadikan sebagai momen untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.
"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya," ucap Henry.
Ia menilai negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA). "Korporasi mengurus industri pengolahan lanjutannya saja seperti pabrik sabun, obat-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya saja," katanya.
Pemerintah, menurut Henry, juga harus menggandeng ormas tani seperti SPI untuk menetapkan harga ideal TBS. "Agar petani sawit untung, bukan malah buntung."
Baca: Sri Mulyani Beberkan 3 Ancaman Besar yang Dihadapi Dunia, Apa Saja?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.