TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung meminta pemerintah agar tak terlalu lama menerapkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) atau larangan ekspor CPO dan produk turunannya.
Jika aturan itu terlalu lama diberlakukan, menurut Tungkot, dampak buruk bagi petani sawit bakal harus dirasakan paling tidak hingga dua tahun mendatang.
Ia mencontohkan, jebloknya harga tandan buah segar atau TBS telah membuat petani tidak lagi sanggup membeli pupuk. "Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 16 Mei 2022.
Usai kebijakan itu diberlakukan, kata Tungkot, pabrik kelapa sawit (PKS) juga mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS sehingga petani sawit kesulitan menjual TBS-nya.
Pemerintah melarang ekspor lewat payung hukum Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Dalam beleid itu, eksportir dilarang sementara melakukan ekspor minyak goreng beserta beberapa bahan bakunya.
Beleid itu berlaku per 28 April 2022 lalu dan akan dievaluasi secara periodik melalui rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian setiap bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Dengan kini telah memasuki pekan kedua bulan Mei, menurut Tungkot, saat ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan seluruh produsen TBS kesulitan menjual TBS-nya.
Usai Permendag No 22 Tahun 2022 diberlakukan pun, kata dia, tidak terjadi penurunan harga minyak goreng secara signifikan. “Artinya, pelarangan ekspor ini bukan cara yang tepat untuk membuat harga minyak goreng di dalam negeri murah," tuturnya.