TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan blak-blakan menjelaskan soal penyebab kelangkaan minyak goreng saat ini.
"Minyak goreng ini tidak langka, hanya yang dituntut masyarakat itu mana yang harga 14 ribu (Harga Eceran Tertinggi). Kalau harga tinggi banyak, ada di mana-mana," kata Oke, Selasa, 8 Maret 2022.
Minyak goreng dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi itu juga terlihat berlimpah ruah di marketplace. Soal ini, pemerintah sudah meminta sejumlah marketplace menarik iklan produk minyak goreng tersebut. "Sudah 10 ribuan iklan di-take down di berbagai marketplace," ucap Oke.
Kementerian Perdagangan, kata Oke, telah menerapkan kewajiban pasok atau DMO 20 persen kepada seluruh eksportir CPO yang berbasis minyak sawit dari berbagai jenis industri. Dua puluh persen pasokan minyak itu yang kemudian didistribusikan kepada produsen minyak goreng lalu dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Melalui kebijakan DMO tersebut, Kemendag telah mendistribusikan minyak goreng dua kali lipat dari kebutuhan bulanan industri dan rumah tangga sejak 14 Februari 2022 lalu. Dari kebutuhan 11 juta liter per hari, pemerintah telah mendistribusikan 20 juta liter per harinya.
"Banjir harusnya (stok minyak goreng), karena 20 juta liter per hari. Per hari ini telah mendistribusikan 370 juta liter," kata Oke.
Namun yang menjadi masalah adalah mekanisme distribusi minyak goreng sehingga menimbulkan kelangkaan salah satu kebutuhan pokok tersebut. Apalagi, menurut Oke, tidak semua produsen minyak goreng tersebut memiliki jaringan yang kuat dari hulu ke hilir.
Akibatnya, distribusi minyak goreng dari produsen hingga ke tangan masyarakat yang seharusnya bisa mengacu pada harga eceran tertinggi menjadi terhambat. Jalur pendistribusian yang terlalu panjang membuat HET minyak goreng sudah tercapai bahkan di tangan distributor.