TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku industri hotel di Bali yakin kebijakan penghapusan masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri yang mendarat di Pulau Dewata akan mendongkrak tingkat penyewaan unit akomodasi. Okupansi hotel diperkirakan naik 10-20 persen dari posisi per akhir Februari ini.
“Saya optimistis okupansi kamar hotel bisa naik jadi 30-40 persen,” ujar Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya saat dihubungi pada Senin, 28 Februari 2022.
Saat ini, okupansi rata-rata kamar hotel di Bali masih menyentuh angka 20 persen atau jauh di bawah titik impas alias break event point. Untuk mencapai BEP tersebut, rata-rata tingkat okupansi kamar minimal kudu mencapai 40 persen.
Rai mengakui aturan pemerintah menjadi kendala utama bagi pelaku industri pariwisata untuk mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara alias wisman. Merujuk informasi dari mitra penjualan paket pariwisata di luar negeri, wisman mempertimbangkan kedatangannya ke Bali lantaran Pemerintah Indonesia masih memberlakukan kebijakan karantina.
Walhasil, wisman memilih destinasi di negara-negara yang tidak lagi memberlakukan aturan karantina, seperti Thailand. Karena itu, pelaku industri pariwisata Bali hanya bisa mengandalkan kunjungan turis domestik.
“Wistawan domestik pergerakannya 11-15 ribu melalui udara dan 10 ribu melalui darat pekan ini. Angkanya meningkat karena ada libur panjang,” kata Rai.
Setelah ketentuan karantina dihapus, dia memperkirakan Bali akan lebih cepat mencapai pemulihan ekonomi. Apalagi, perekonomian Bali didominasi oleh sektor pariwisata yang kontribusinya mencapai 70 persen.
“Bali akan pulih 100 persen pada 2023 setelah G20,” ujar Rai.
Rai mengimbuhkan, kini para pelaku industri tengah menggencarkan pemasaran pariwisata ke negara-negara dengan potensi turis asing yang besar. “Bagaimana strategi pemasarannya adalah dengan mengadakan webinar dengan beberapa mitra di luar negeri. Kami akan bilang bahwa Bali sudah memudahkan regulasinya kepada calon wisatawan,” ucap Rai.