Tapi saat itu para direksi manut ke konsultan, karena pengetahuan terbatas, apalagi dijanjikan dana Rp 30 triliun dari proses ini. Para direksi, kata dia, hanya mengingatkan bahwa apapun skema yang ditempuh, Anggaran Dasar (AD) Bumiputera jangan dilanggar, dan semua
harus sepengetahuan dan seizin BPA (Badan Perwakilan Anggota) sebagai lembaga tertinggi perusahaan.
BPA sendiri saat itu menerbitkan empat butir pesan, yaitu bentuk badan usaha mutual jangan dihilangkan, restrukturisasi harus berjalan transparan, karyawan dan pemegang polis jangan dirugikan.
Tapi, kata Ana, konsultan tampaknya tidak terlalu peduli dengan pesan BPA itu. Target mereka memang demutualisasi atau mengubah bentuk badan usaha dari Mutual/Usaha Bersama menjadi Perseroan Terbatas, dan dalam proses ini mereka mengabaikan Anggaran Dasar.
Right issue ternyata gagal, kata Ana, entah apa sebabnya. Lalu muncul skema lain, direct investment. Lalu menyusul Kerja Sama Operasional (KSO), lalu skema lainnya.
"Yang saya ingat adalah, setiap kali meeting koordinasi dengan konsultan, skema berubah dan berubah. Entah rencana apa lagi berikutnya, hanya konsultan dan Tuhan yang tahu," kata dia.
Sampai suatu ketika direksi diminta menandatangani MoU tentang pengalihan pengelolaan aset Bumiputera ke ‘investor’. Dia menolak membubuhkan paraf, karena tanpa sepersetujuan BPA.
Lalu mungkin karena direksi dinilai tidak kooperatif, kata dia, OJK akhirnya menjatuhkan sanksi statuter. Menurutnya, seluruh anggota direksi dan komisaris dinonaktifkan. Posisi Dirut saat itu kosong, karena sudah diberhentikan BPA. Itulah, kata dia, babak baru Bumiputera, di mana Pengelola Statuter (PS) mulai memegang kendali di Bumiputera.
"Saya mendengar, hanya sehari setelah saya non aktif, aset-aset properti telah berpindah tangan ke ‘investor’ (kelak aset ini bisa ditarik kembali pasca pemberlakuan statuter)," kata Ana.
Dia mengatakan Pengelola Statuter selama dua tahun di Bumiputera me-run off Bumiputera, operasional bisnis dihentikan. Pengelola Statuter juga memberhentikan 1.000 lebih karyawan (antara lain terdiri dari Kepala wilayah dan Kepala Cabang se Indonesia) dengan skema golden shakehand, dan memindahkannya ke ‘anak perusahaan’, PT Bumiputera Life.
Dia memberi tanda petik, karena ‘anak perusahaan’ ini bukan bagian dari entitas Bumiputera. AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki saham sama
sekali pada perusahaan yang kelak berubah nama menjadi PT Bhinneka Life ini.
"Bayangkan pak, karyawan yang kami didik bertahun-tahun dan menjadi ujung tombak Bumiputera di lapangan, diboyong ke Bhinneka Life untuk membangun dan membesarkan perusahaan yang tidak memiliki ‘hubungan darah’. Karyawan diberi ‘sangu’ pula," kata dia.
Dia saat itu mengamati dari luar hanya bisa terhenyak. Tapi para mantan direksi saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena OJK mengancam sanksi pidana bagi siapa pun yang mencoba menghalangi kerja Pengelola Statuter.
Padahal Ana, besar di perusahaan mutual, dan tahu di mana titik kritis operasional perusahaan rakyat ini. Premi income Bumiputera rata-rata Rp 5 triliun per tahun. Dengan perusahaan di run-off, ujung tombaknya diserahkan ke pihak lain, sistemnya dipreteli, produknya dikloning,
Bumiputera kehilangan potensi penghasilan sebesar 10 triliun selama dua tahun. Dalam pikirannya saat itu, sebentar lagi Bumiputera akan kesulitan likuiditas, karena produksi baru terhenti, aset masih sebagian besar non likuid (aset properti), dan itu berarti akan terjadi ‘bencana’ klaim.
Ana mengatakan ramalannya tepat. Bumiputera nyungsep di tangan Pengelola Statuter. Klaim mulai tersendat, beberapa petugas kami di garda terdepan mengalami persekusi dari pemegang polis yang kesal karena klaimnya tak terbayar, sesama karyawan mulai berantem antara yang pindah ke ‘anak perusahaan’ dengan yang bertahan di AJB Bumiputera 1912, database pemegang polis masing-masing diboyong agen ke perusahaan baru bersama dengan kepindahan mereka.
Dengan kondisi perusahaan yang sistemnya bercerai-berai, OJK kembali mengirim paket Direksi (OJK menyebutnya profesional). Paket Direksi baru itu diangkat bahkan sebelum Ana mendapatkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian sebagai anggota Direksi.
Tempo coba menghubungi Riswinandi melalui Whatsapp. Riswinandi terlihat online setelah kiriman chat dari Tempo, namun dia belum menjawab hingga berita ini naik.
HENDARTYO HANGGI