TEMPO.CO, Jakarta -Pengerahan ratusan personel kepolisian ke Desa Wadas dalam beberapa hari terakhir mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat. Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas Insin Sutrisno menyatakan warga tak bisa meladang karena situasi yang tidak kondusif.
"Padahal sebagian besar warga Wadas bertumpu pada sektor ekonomi pertanian," kata Insin pada Kamis malam, 10 Februari 2022.
Selain tak dapat bertani, masyarakat berhenti menganyam besek. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh perempuan-perempuan Wadas di gardu-gardu ronda yang tersebar di hampir semua dusun.
Polisi mengepung Wadas sejak Rabu, 8 Februari 2022, untuk mengawal petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran trase tanah calon lokasi tambang andesit. Seluas 114 hektare lahan di Wadas--seperempat dari total luas desa itu--akan dibuka sebagai proyek tambang andesit untuk mendukung pembangunan Bendungan Bener.
Warga menolak tanahnya dikeruk untuk pertambangan lavastone yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional (PSN) Presiden Joko Widodo ini. Selain khawatir akan ancaman hilangnya mata air dan potensi longsor, warga mempersoalkan izin pertambangan yang diduga penuh sengkarut.
Selama pengepungan, polisi turut menangkap puluhan warga selama. Mereka dihujani pertanyaan seputar alasan menolak tambang. Meski telah dibebaskan dalam waktu 24 jam, warga trauma dan mengungsi ke luar desa sehingga ladangnya terbengkalai.
"Kondisi ini makin menambah beban kehidupan yang kami alami," katanya.
Menyitir data gambaran umum kondisi Wadas, lebih dari separuh penduduk desa adalah petani kebun. Jumlah petani di desa tersebut sebanyak 358 orang. Sisanya ialah buruh sebanyak 39 orang, PNS lima orang, dan buruh 296 orang.
Adapun komoditas utama di Wadas adalah gula aren. Selain itu, terdapat potensi tanaman produktif lainnya, seperti kopi, temulawak, dan buah-buahan.
Baca Juga: Amnesty International Nilai Pengerahan Polisi di Desa Wadas Langgar Prinsip HAM