TEMPO.CO, Jakarta - Industri asuransi tengah disorot publik khususnya soal unit link atau produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI). Salah satunya karena masih banyak konsumen yang tak mengerti fitur produk secara lengkap berikut risiko yang menyertainya.
Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan kini tengah memperketat aturan terkait produk finansial tersebut. OJK juga mengingatkan masyarakat bahwa ada sejumlah perbedaan antara produk asuransi tradisional dengan unit link.
Unit link menawarkan layanan fitur tambahan untuk memudahkan konsumen yang ingin mendapatkan proteksi tapi juga ingin berinvestasi. Meski begitu, unit link dipastikan bukan produk tabungan.
Selain untuk keperluan proteksi, sebagian premi yang dibayarkan oleh konsumen akan dialokasikan untuk pengembangan dana atau investasi. Oleh karena itu, nilai tunai pada unit link bergerak fluktuatif mengikuti perkembangan pasar modal dan kondisi perekonomian.
OJK melalui cuitannya di Twitter resmi @ojkindonesia, menjelaskan, bahwa dalam suatu waktu, sangat mungkin nilai aktiva bersih (NAB) dari unit link mengalami penurunan karena gejolak pasar modal. Sebagaimana investasi, terdapat risiko penurunan nilai investasi pada unit link yang harus dipahami oleh calon konsumen.
"Misalnya, di saat harga saham atau pasar uang turun, nilai investasi Unit Link jg akan terkena dampaknya. Seperti prinsip investasi, high risk–high return," cuit OJK, Jumat, 4 Februari 2022.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu sebelumnya menyebutkan bahwa produk asuransi unit link merupakan produk proteksi yang dikombinasikan dengan investasi. Dalam skema produk tersebut, premi yang dibayarkan nasabah sebagian akan dialokasikan untuk proteksi dan sebagian lagi akan dialokasikan untuk investasi.
"Jangan salah kaprah, banyak masyarakat yang melihat unit link itu investasinya. Kebalik, mustinya lihat proteksinya. Adapun, unsur investasi di sana (sifatnya) seperti back up," ujar Togar ketika dihubungi.
Pembayaran premi polis asuransi unit link, kata dia, juga harus dilakukan sepanjang kontrak berlangsung agar mendapatkan proteksi dan hasil investasi yang optimal. Jika pembayaran premi terhenti di tengah masa kontrak, maka nilai unit investasi nasabah bisa berkurang karena akan digunakan untuk pembayaran premi asuransi.
Bila unit investasi nasabah minus, menurut Togar, nasabah harus tetap menambah atau top up membayar premi. "Misalnya nasabah bayar premi unit link selama 10 tahun, katakanlah tahun ke-8 meninggal. Itu kan uang pertanggungannya besar yang harus dibayarkan perusahaan asuransi jiwa ke ahli waris," tuturnya.
Perusahaan dalam hal ini harus tetap membayar uang pertanggungan Rp 1 miliar. "Padahal baru bayar premi Rp 100 juta atau Rp 200 juta. Nah, yang dilihat itu proteksinya," ucap Togar.