TEMPO.CO, Jakarta - Petani sawit mengeluhkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang berlaku untuk minyak sawit mentah (CPO) yang diterapkan pemerintah pada awal bulan ini. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan (Apkasindo) Alpian Arahman menyatakan kebijakan tersebut akhirnya malah menggerus harga tandan buah segar (TBS).
“Tujuan dari kebijakan (DMO dan DPO) sebenarnya mulia, menjaga dan memenuhi ketersediaan minyak di pasar dalam negeri. Tapi dalam beberapa hari, harga TBS petani merosot sangat tajam,” kata Alpian dalam diskusi virtual bersama Indef, Kamis, 3 Februari 2022.
Alpian meminta pemerintah segera mengevaluasi kebijakan DMO dan DPO. Dia menduga ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membeli TBS di tingkat petani dengan harga sangat murah ketika pemerintah berupaya menyeimbangkan harga minyak goreng dalam negeri.
“Kami mohon kepada pemerintah memantau,” katanya. Adapun tiga hari lalu, harga TBS sawit Rp 2.550 per kilogram. Harga ini lebih rendah dari sebelum penetapan kebijakan DMO dan DPO yang berkisar Rp 3.500 per kilogram.
Sebelumnya pemerintah menerapkan kebijakan DMO dan DPO mulai 27 Januari untuk menjaga ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau. Mekanisme kebijakan DMO atau kewajiban pasokan ke dalam negeri berlaku wajib bagi seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor.
Dengan kebijakan ini, seluruh eksportir harus memasok minyak goreng ke dalam negeri ebesar 20 persen dari volume ekspor masing-masing. Seiring dengan penerapan kebijakan DMO dan DPO tersebut, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng .
Rinciannya, HET untuk minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter dan minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Kebijakan HET telah berlaku sejak 1 Februari 2022.