TEMPO.CO, Jakarta -Rob Xaverius Situmorang bergabung di aplikasi Binomo--perdagangan opsi biner atau trading binary option, pada Mei 2020. Ia mengatakan tertarik bergabung setelah melihat video-video pemengaruh.
"Saya tertarik bergabung ya karena melihat influencer yang bisa menghasilkan uang dengan mudah," kata dia yang mengaku minim informasi tentang trading ini. Influencer itu, kata dia, menjadi afiliator yang memimpin juga grup Telegram berisi 200 ribu orang.
Belakangan, ia justru merasa dijerumuskan setelah memahami bahwa aplikasi tersebut bukan trading biasa, melainkan mirip judi. Sampai akhirnya, ia kini menanggung rugi hingga Rp 30 juta. Selain itu, dia juga melihat bahwa tidak ada member yang sukses dari perdagangan opsi biner.
Menurut dia, hanya afiliator yang bisa sukses dalam ekosistem perdagangan digital itu. Setelah mencari tahu ke kenalan, Rob baru mengetahui bahwa afiliator bisa mendapat bagi hasil dari pendapatan aplikasi. "Kalau ada yang kalah, maksimum 70 persen buat afiliator," ujarnya. Lantaran merasa dicurangi, ia pun akhirnya memutuskan berhenti.
Kini, Rob pun tengah menggalang laporan dari para pengguna yang merasa dirugikan oleh platform tersebut untuk bisa membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Pasalnya, ia melihat di tengah gonjang-ganjing di media sosial belakangan ini pun, aktivitas perdagangan di platform opsi biner tetap berjalan seperti biasa.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan modus operandi pemasaran perdagangan opsi biner adalah dengan menggandeng pemengaruh atau influencer. Modus itu juga didukung oleh pengetahuan publik yang minim mengenai instrumen trading tersebut.
Ia menyebut para pemengaruh mengajak masyarakat dengan menyebut bahwa perdagangan tersebut legal. Hal itu kemudian dianggap salah kaprah dan menyesatkan.
"Masyarakat tertarik karena diiming-imingi keuntungan yang besar. Di situ lah masyarakat terkena bujukan. Dari situ ya tinggal tunggu waktu masyarakat kehilangan dana," tutur Ibrahim.