TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi mengemukakan dampak negatif yang bakal muncul akibat penghapusan kelas rawat inap rumah sakit bagi peserta BPJS Kesehatan.
Ia menyatakan penerapan kelas rawat inap standar atau KRIS akan mengurangi kapasitas tempat tidur yang terpasang di rumah sakit swasta. Akibatnya, potensi pendapatan rumah sakit akan seret.
Pengurangan kapasitas tempat tidur itu, menurut Ichsan, sebagai salah satu konsekuensi penerapan jarak ataupun luas kamar rawat inap. "Ini tidak mudah bagi kami di rumah sakit swasta, makanya kami minta regulasinya dibahas bersama-sama," tuturnya ketika dihubungi, Selasa, 25 Januari 2022.
Tak hanya itu, Ichsan menyebutkan, rumah sakit harus mengalokasikan dana investasi yang relatif besar untuk merenovasi bangunan apabila tidak memenuhi kriteria KRIS. Sedangkan perluasan rumah sakit juga tak selalu mudah dilakukan jika terkendala lahan.
“Kan tidak mudah membangun, menyiapkan lahan seperti itu apalagi rumah sakit itu sudah berbatas tembok atau apa itu. Tidak semudah itu di lapangan,” ucapnya.
Kebijakan KRIS yang tidak dibarengi dengan komitmen pemerintah untuk menaikkan tarif INA CBGs yang tidak pernah mengalami penyesuaian selama delapan tahun terakhir juga dinilai Ichsan sangat memberatkan.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebelumnya mengusulkan skema urun biaya bagi peserta BPJS Kesehatan kelas I & II untuk meningkatkan standar layanan jaminan kesehatan nasional atau JKN. Usulan tersebut disampaikan karena tarif INA-CBGs yang tidak kunjung disesuaikan selama delapan tahun terakhir.
Adapun tarif INA CBGs adalah rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi hingga iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan kepada rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan.