Sehingga, pendapatan negara 2022 masih dipatok Rp Rp 1.846 triliun. Tapi ternyata, realisasi pendapatan negara di 2021 bisa tembus di atas Rp 2.000 triliun akibat naiknya harga komoditas.
Karena itu, alokasi TKDD tahun ini masih menggunakan formula Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang belum direvisi berdasarkan pengaruh komoditas. "Ini tidak ada hubungannya dengan komitmen desentralisasi atau tidak," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani lantas mencontohkan situasi di tahun 2022 ketika pendapatan negara anjlok 16 persen dan penerimaan pajak 19 persen. Secara teoritis, kata dia, TKDD seharusnya turun mengikuti besaran tersebut. "Tapi hanya dipotong 6,2 persen," kata dia.
Bagi Sri Mulyani, hal ini bukan masalah komitmen mengenai otonomi daerah atay desentralisasi, tapi ini strategi of survival. Sebaliknya ketika penerimaan naik karena harga komoditas, maka Sri Mulyani mengklaim langsung membayar sebagian ke daerah.
Ia mencontohkan DBH 2021 yang dipatok di APBN 2021 sebesar Rp 102 trilin, tapi realisasinya Rp 117 triliun lebih. "Jadi tidak seperti orang mengatakan seolah-olah ini angkanya ditetapkan UU, saya melototin APBN sambil berdoa. Tidak, itu bergerak, UU bilang begini nyatanya begini," ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Airlangga: Anggaran Pembangunan Tahap I Ibu Kota Negara Rp 45 Triliun
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.