Hal ini juga didasarkan pada kerangka etika bisnis yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dalam Musyawarah Nasional XXVII di Padang tahun 2003 sebagai seperangkat norma yang bertumpu pada akidah, syariat, dan akhlak yang diambil dari Al Qur’an dan Sunah Al Maqbulah yang digunakan sebagai tolok ukur dalam kegiatan bisnis serta hal-hal yang berhubungan dengannya.
Dalam pandangannya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menilai mata uang kripto sebagai alat investasi memiliki banyak kekurangan jika ditinjau dari syariat Islam. Salah satunya adalah sifat spekulatif yang sangat kentara.
Nilai bitcoin misalnya, sangat fluktuatif dengan kenaikan atau penurunan yang tidak wajar. Selain itu, cryptocurrency tersebut mengandung gharar atau ketidakjelasan. Bitcoin disebut hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying asset atau aset yang menjamin aset kripto itu seperti emas dan barang berharga lain.
“Sifat spekulatif dan gharar ini diharamkan oleh syariat sebagaimana Firman Allah dan hadis Nabi SAW serta tidak memenuhi nilai dan tolok ukur Etika Bisnis menurut Muhammadiyah, khususnya dua poin ini, yaitu: tidak boleh ada gharar (HR. Muslim) dan tidak boleh ada maisir (QS. Al Maidah ayat 90),” seperti dikutip dari rilis situs Muhammadiyah tersebut.
Jika dilihat dari mata uang kripto sebagai sebagai alat tukar, majelis menjelaskan, berdasarkan hukum asalnya adalah boleh sebagaimana kaidah fikih dalam bermuamalah.
Majelis mengungkapkan, penggunaan mata uang kripto sebenarnya mirip dengan skema barter, selama kedua belah pihak sama-sama rida, tidak merugikan dan melanggar aturan yang berlaku. “Namun, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah (mencegah keburukan), maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah."
Bagi Majelis Tarjih, standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar wajib memenuhi dua syarat. Pertama yaitu diterima masyarakat dan kedua disahkan negara yang dalam hal ini diwakili oleh otoritas resminya seperti bank sentral.
Adapun penggunaan bitcoin sebagai alat tukar, bukan hanya belum disahkan negara, tetapi juga tidak memiliki otoritas resmi yang bertanggung jawab atasnya. Hal ini belum berbicara tentang perlindungan terhadap konsumen pengguna aset kripto. Oleh karena itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebut terdapat kemudaratan dalam mata uang kripto.