“KPBN adalah unit usaha dari BUMN, bukan swasta. Harga CPO harian (yang dikeluarkan KPBN) selalu mengacu (harga) di Dumai atau Belawan dan mengacu pada harga KLCX ( Kuala Lumpur) dan Rotterdam,” ujar Sahat.
Mengacu harga tersebut, komoditas CPO telah mengalami peningkatan sejak Mei 2020 hingga 20 Januari 2022 dari Rp 6.742 per kilogram menjadi Rp 15.120 per kilogram alias naik 224 persen. Kenaikan terjadi karena suplai yang berkurang dan permintaan global yang sangat tinggi.
Dengan penentuan harga CPO yang mengacu pada KPBN, Sahat mengatakan kecil kemungkinan industri domestik kongkalingkong. “Jadi ini tak ubahnya tukang jahit, yang bila harga kain naik, otomatis harga jual tinggi,” katanya.
Selain itu, dia menampik mayoritas industri hilir minyak goreng terintegrasi atau terafiliasi dengan perkebunan sawit milik besar.
Ukay sebelumnya menduga pemain besar minyak goreng di dalam negeri terintegrasi dengan kelompok usaha perkebunan kelapa sawit dan beberapa produk turunannya. Artinya masing-masing industri minyak goreng jumbo umumnya memiliki kebun sawit.
Kondisi ini menjadi pendorong bagi industri menaikkan harga secara bersamaan selepas harga CPO naik. “Kalau pun CPO untuk produksi minyak tidak dinaikkan, pabrik minyak gorengnya akan tetap untung,” tutur dia.
Ukay menyebut KPPU masih akan mendalami penelitian mengenai dugaan adanya kartel di industri minyak goreng. Data yang ada saat ini, kata dia, akan menjadi pintu masuk bagi KPPU untuk melanjutkan proses ke arah penyelidikan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: KPPU: Ada Sinyal Kartel atas Kenaikan Harga Minyak Goreng
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.