TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartantyo membeberkan penyebab investasi proyek kereta kereta lintas raya terpadu atau LRT Jabodebek melar Rp 2,6 triliun. Pembengkakan investasi terjadi karena dua penyebab utama.
“Pertama, ada pergeseran target COD (commercial operation date) dari semula 2019 menjadi 2022, terutama terkait pembebasan lahan di Depo Bekasi Timur,” ujar Didiek dalam Diskusi Publik Persiapan Operasional LRT Jabodebek di Grand Hyatt, Jakarta, Rabu, 19 Januari 2022.
Kedua, Didiek menerangkan, pandemi Covid-19 mengakibatkan biaya proyek pra-operasi, biaya interest during contruction (IDC), dan biaya lainnya melambung. Per 2021, nilai kebutuhan investasi proyek strategis nasional itu menjadi Rp 32,5 triliun. Sedangkan dalam perhitungan awal, nilai investasi LRT Jabodebek sebesar Rp 29,9 triliun.
Berdasarkan rinciannya, total investasi prasarana pada awal 2017 ditargetkan Rp 22,9 triliun. Sementara itu kebutuhan per 2021 melar menjadi Rp 23,3 triliun. Adapun kebutuhan lain-lain meningkat dari Rp 1,4 triliun menjadi Rp 1,6 triliun.
Kebutuhan bunga interest atau IDC dan financing fees naik dua kali lipat dari 1,5 triliun menjadi sebesar Rp 3,2 triliun. Sedangkan biaya pra-operasi yang sebelumnya tak dianggarkan menjadi Rp 400 miliar. Di sisi lain, penyesuaian terjadi pada komponen kebutuhan sarana yang semula dianggarkan Rp 4,1 triliun turun menjadi Rp 4 triliun.
Didiek menerangkan, untuk menutup pembengkakan investasi, KAI mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 2,6 triliun. Penyertaan modal mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017.