TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor batu bara sejak 1 Januari 2022 hingga akhir bulan ini berimbas pada harga komoditas itu di pasar global. Harga komoditas tersebut langsung naik dan kini berada di level US$ 196,5 per metrik ton.
Bursa ICE Newcastle pada Kamis, 6 Januari 2022, mencatat harga batu bara untuk kontrak Januari menembus rekor tertinggi pada tahun ini yakni US$ 196,5 per metrik ton. Harga ini naik 16,6 poin dibandingkan hari perdagangan sebelumnya US$ 179,9 per metrik ton.
Pada kontrak Februari, harga emas hitam ini masih menguat di level US$1 80 per metrik ton. Angka ini naik 18,35 poin dibandingkan perdagangan Rabu lalu, 5 Januari 2022 yakni US$ 161,65 per metrik ton.
Sedangkan pada kontrak Maret, harga batu bara diperdagangkan pada level US$ 168 per metrik ton, naik 17,65 level dari perdagangan sebelumnya yakni US$ 150,35 per metrik ton.
Pada tahun 2021 lalu, harga batu bara bergerak dalam tren penguatan. Di dalam negeri, harga batu bara acuan yang dipatok pemerintah melejit hingga US$ 215,63 per ton pada November 2021. Padahal, pada bulan Januari, harga batu bara acuan hanya di kisaran US$ 75,84 per ton.
Adapun kebijakan larangan ekspor yang dirilis pemerintah diberlakukan hingga 31 Januari 2022. Langkah ini diambil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) seiring dengan menipisnya pasokan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) dan milik independent power producer (IPP).
Kementerian ESDM menilai menipisnya stok batu bara ini berdampak pada sekitar 20 PLTU dengan kapasitas daya 10.000 MW. Angka ini setara dengan potensi gangguan bagi 10 juta lebih pelanggan PLN.
Kalangan pengusaha sontak bereaksi merespons kebijakan pemerintah itu. Pasalnya, tak sedikit dari mereka yang patuh dengan aturan wajib pasok batu bara ke dalam negeri atau DMO tapi akhirnya juga harus terkena larangan ekspor. Kebijakan itu juga dinilai bakal jadi buah simalakama atas iklim investasi di Indonesia.