TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu mengancam mogok kerja, Kementerian BUMN mengeluarkan pernyataan melarang aksi tersebut dengan alasan berdampak kepada aktivitas penyediaan bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat.
Pakar ketenagakerjaan yang juga Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono mengatakan bahwa secara yuridis mogok kerja adalah hak dasar pekerja asal dilakukan secara sah dan damai. Dengan demikian pemerintah tidak dapat melarang mogok kerja serikat pekerja Pertamina.
Dia juga menjelaskan bahwa mogok kerja menjadi hak pekerja ketika sudah mencoba perundingan dengan manajemen dan menemukan jalan buntu. "Boleh saja mogok asalkan didahului dead lock (jalan buntu), sehingga mogok adalah jalan terakhir setelah negosiasi tidak memenuhi sasaran. Tanpa pengecualian pekerja Pertamina dapat melakukan mogok," katanya kepada Bisnis, Kamis, 23 Desember 2021.
Adapun hak pekerja tersebut diatur di dalam Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal tersebut berbunyi, "Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan."
"Keputusan [Wamen BUMN] tersebut bertentangan dengan UU No 13/2003 ttg Ketenagakerjaan," kata Aloysius.
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury mengatakan bahwa aksi mogok kerja yang akan dilakukan FSPPB bisa berdampak kepada aktivitas penyediaan bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat. Karena itu, Kementerian BUMN melarang mogok kerja.