TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajak masyarakat yang memiliki kewajiban perpajakan kepada negara namun belum disampaikan, untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela atau kerap disebut Tax Amnesty Jilid II pada 2022. Program ini berlangsung pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.
"Mendingan daripada hidupnya enggak berkah lebih baik ikut saja. Daripada enggak berkah dan bisa kena (sanksi) 200 persen lebih baik ikut saja. Ini kesempatannya enam bulan," ujar dia dalam sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Jumat, 17 Desember 2021.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah saat ini memiliki perangkat untuk mengetahui ada tidaknya masyarakat yang masih belum menunaikan kewajiban perpajakannya. Misalnya Nomor Induk Kependudukan yang akan sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak, seperti tertuang dalam UU HPP.
"Anda tanya, 'ah Ibu nggak bakalan tahu lah'. Beneran nih? NIK sama dengan NPWP lho sekarang. Jadi Anda nggak bisa nanti ganti-ganti pindah nama, saya tahu," ujar dia.
Ia pun memastikan bisa mengetahui harta yang dilarikan wajib pajak ke luar negeri. Pasalnya, saat ini pemerintah telah memiliki kerja sama Automatic Exchange of Information dengan negara lain.
"Jadi sekarang ini Pak Suryo (Dirjen Pajak Suryo Utomo) sebetulnya selalu dapat di Singapura siapa saja orang Indonesia, Hongkong, Cayman Islands, Delaware, Panama, kita dapat itu informasinya," tutur dia.
Menurut dia, pemerintah juga bisa meminta negara terkait untuk memungut pajak kepada para wajib pajak di luar negeri itu atas nama pemerintah. Karena itu, ia menyarankan para wajib pajak memanfaatkan Program Pengungkapan Sukarela.
Sri Mulyani mengatakan bagi masyarakat memiliki harta sejak sebelum Desember 2015 dan belum dilaporkan melalui Tax Amnesty, maka mereka dapat ikut dalam Program Pengungkapan Sukarela. Namun, tarif pajak pada program ini lebih besar ketimbang Program Pengampunan Pajak 2016-2017 lalu.
"Rate-nya pasti lebih tinggi dari Tax Amnesty dulu karena itu adil dong, yang dulu sudah ikut akan diberikan pemihakan," tutur dia.
Untuk harta yang diperoleh sebelum 2015, maka tarif yang dikenakan adalah 11 persen untuk harta yang berada di luar negeri. Apabila harta tersebut direpatriasi atau dibawa ke Indonesia, maka tarifnya menjadi 8 persen.
"Kalau hartanya ada di dalam negeri seperti dapat rumah dari mertua atau warisan dan belum disampaikan, ratenya 6 persen," kata dia.
Sri Mulyani menambahkan masyarakat dengan harta yang diperoleh mulai 2016 hingga 2020 dan belum dilaporkan juga bisa mengikuti program tersebut. Tarifnya adalah sebesar 18 persen apabila harta berada di luar negeri, 14 persen jika harta dari luar negeri dibawa ke dalam negeri, dan 12 persen untuk harta di dalam negeri.
CAESAR AKBAR
Baca juga: OJK Digugat Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.