Namun usai pemeriksaan itu, Eka tidak menerima kabar lanjutan apa-apa lagi dari perusahaan. Waktu berjalan, sampai tiba-tiba pada Februari 2020 atau lima tahun kemudian, Eka menerima email dari perusahaan. Lewat email tersebut, perusahaan mensomasi Eka untuk mengembalikan kelebihan bayar gaji dalam lima hari ke depan.
Eka tidak terima dengan permintaan perusahaan dan meminta untuk duduk bersama. Hasilnya, Eka diperiksa untuk kedua kalinya pada 2020 dan di situlah perusahaan menganggap Eka melakukan penggelapan gaji. Saat itu pula, Eka menerima surat pemberitahuan pemutusan hubungan kerja atau PHK oleh perusahaan.
Eka lalu membawa masalah ini ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Badung, Bali. Mediasi dilakukan dan Disnaker memberikan enam anjuran pada November 2020, salah satunya meminta Garuda Indonesia mempertimbangkan kembali maksud untuk memecat Eka karena kesalahan yang dimaksud masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut. “Anjuran itu ditolak perusahaan,” ujarnya.
Selain ke Disnaker, Eka juga membawa masalah ini ke Komisi Informasi Publik atau KIP Provinsi Bali. Sebab, Eka tidak pernah bisa mendapat rincian gaji rapel versi perusahaan walau sudah diminta sejak 2015. Lalu pada Mei 2021, KIP pun memutuskan perusahaan harus memberikan informasi yang diminta Eka dan salinan putusannya tersedia di situs resmi komisi.
Tapi hanya berselang dua bulan, perusahaan melaporkan Eka ke Polres Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, pada Agustus 2021 atas dugaan penggelapan gaji. Eka tak habis pikir karena objek yang jadi perkara adalah gajinya sendiri yang kurang bayar. Selain itu, ia menilai perkara ini harusnya diselesaikan dalam mekanisme hubungan industrial saja, bukan pidana.
Laporan tetap diproses. Sampai akhirnya pada Oktober 2021, Eka dipanggil oleh polisi sebagai saksi. Lalu pada 29 November 2021, ia ditetapkan sebagai tersangka dan disuruh datang untuk diperiksa sebagai tersangka di Jakarta pada 1 Desember 2021. Status tersangka inilah yang membuat Eka memohon perlindungan kepada Kapolri.
Dalam surat tersebut, Eka menyebut dirinya menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana berdasarkan pasal 85 UU Transfer Dana. Pasal ini berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Lalu kepada penyidik polisi yang memanggilnya, Eka mengatakan dirinya juga tengah mengalami pemotongan gaji 30 persen. Pemeriksaan di Jakarta, sedangkan dirinya berdomisili di Bali. Sehingga, Eka meminta agar pemeriksaan dilakukan ke Bali saja. “Oke saya bicarakan dengan atasan,” kata Eka menirukan ucapan penyidik.
Tapi tak ada lagi kabar dari penyidik tersebut soal permintaan Eka. Malahan, ia menerima lagi surat pemanggilan kedua pada 3 Desember. Eka diminta datang ke Jakarta untuk diperiksa pada 8 Desember. Dengan keuangan yang sedang sulit, Eka belum masih kesulitan untuk memenuhi pemeriksaan tersebut. “Saya jelas sedih,” kata dia.