TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, meyoroti tiga poin krusial yang akan diubah dalam Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas RUU Migas). Pertama mengenai pembentukan badan usaha khusus (BUK) yang dikabarkan akan menggantikan peran SKK Migas.
Fahmy mengkhawatirkan posisi BUK yang akan berada di bawah PT Pertamina (Persero) seperti wacana yang mencuat. Bila badan itu dikempit dalam naungan perusahaan minyak negara, kondisi ini bisa mengancam operator swasta.
“Kalau di bawah Pertamina, bisa menempatkan Pertamina sebagai regulator sekaligus sebagai operator. Investor lain sebagai operator akan dirugikan,” ujar Fahmy saat dihubungi pada Jumat, 3 Desember 2021.
Fahmy menilai BUK semestinya tetap berdiri secara mandiri sebagai BUMN khusus yang setara dengan Pertamina. “Bukan merupakan bagian Pertamina sebagai holding,” tutur dia.
Selain itu, ia menyebut poin-poin krusial lain yang akan dibawa dalam pembahasan RUU Migas adalah contract regime. Sebaiknya, kata dia, ada opsi bagi investor untuk memilih kontrak dengan skema cost recovery atau gross split.
Isu ketiga adalah mengenai hak partisipasi BUMD mengelola blok migas dengan skema participating interest (PI) sebesar 10 persen. Ke depan, BUMD harus memiliki modal sendiri untuk dapat mendapatkan jatah pengelolaan PI 10 persen.