TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pekerja dan buruh yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) tegas menolak keputusan pemerintah daerah soal upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Jawa Timur yang berlaku tahun 2022. Pasalnya, kenaikan upah minimum tersebut dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Sekjen Komite Pusat SPBI, Fatkhul Khoir, mengatakan penetapan UMK 2022 yang mengacu pada PP No. 36 Tahun 2021 itu secara riil akan memberatkan masyarakat. Sebab, harga sejumlah kebutuhan pokok terus naik.
“Pada prinsipnya kita menolak kenaikan itu karena tidak sesuai kebutuhan riil. Upah itu kan masuk dalam kategori yang terdampak luas pada masyarakat, kalau kenaikan segitu secara riil memberatkan karena tingkat kebutuhan pokok terus naik,” kata Fatkhul, Rabu, 1 Desember 2021.
Pernyataan Fatkhul merespons keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam menetapkan besaran upah minimum kota/kabupaten atau UMK 2022 di 38 kota dan kabupaten. Dalam keputusannya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mematok besaran UMK 2022 di wilayah ring 1 naik 1,74 - 1,75 persen atau sekitar Rp 75.000.
Penetapan upah minimum yang berlaku pada tahun 2022 di Jawa Timur itu termaktub dalam Keputusan Gubernur Jatim No. 188/803/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2022.
Dari keputusan tersebut, terlihat bahwa UMK Surabaya masih yang tertinggi di Jawa Timur, sedangkan Kabupaten Sampang dengan UMK terendah di wilayah itu.
Sebagai gambaran, rincian besaran UMK 2022 di daerah Ring 1 yakni Kota Surabaya yakni Rp 4.375.479,19, Gresik Rp 4.372.030,51, Sidoarjo Rp 4.368.581,85, Kabupaten Pasuruan Rp 4.365.133,19 dan Kabupaten Mojokerto Rp 4.354.787,17. Sedangkan untuk UMK terendah di Jawa Timur ada di Sampang sebesar Rp1.922.122,97.
Lebih jauh, Fatkhul menjelaskan, ada masalah lain terkait perumusan upah minimum tersebut. Sebab, PP No.36 Tahun 2021 juga mencatut PP No.78 Tahun 2015. Kemudian, terdapat formula yang dirumuskan dan kembali pada penghitungan Dewan Pengupahan.