TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Sari Pramono mengungkapkan seharusnya penurunan tarif PCR memperhatikan suara-suara dari pengusaha.
"Perlu ada balancing, harus dengar dari sisi pengusaha. Pengujian tes PCR di laboratorium menggunakan banyak komponen seperti reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harganya mahal dan harus impor," ujar Sari pada Kamis, 4 November 2021.
Sari juga menambahkan, terlebih lagi pada setiap pengoperasian laboratorium membutuhkan tenaga ahli medis yang mumpuni. Jangan sampai harga turun tapi teknis operasional jadi sembarangan demi mengejar harga yang ditetapkan pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan batas tertinggi harga tes PCR. Maka pada saat ini, biaya tes PCR di wilayah Jawa-Bali menjadi Rp 275.000. Sedangkan, untuk daerah di luar Jawa-Bali menjadi Rp 300.000.
Belakangan ini, Pemerintah fokus terhadap harga PCR Test. Di satu sisi, kualitas PCR Test harus tetap dijaga, karena untuk mendeteksi virus dan juga menjamin aktivitas sosial tetap hidup dan sehat. Pemerintah saat ini belum mengambil kebijakan mengenai kualitas serta standar dalam tes PCR yang dilakukan oleh Klinik kesehatan atau Rumah Sakit.
Sari meminta agar ada SOP yang baku dari pemerintah agar teknis di lapangan berjalan baik dan bisa dimonitor dengan sesuai. Selain itu, penanganan limbah agar virus jangan sampai tersebar secara tidak sengaja juga menjadi beban biaya yang tidak sedikit. Komponen-komponen inilah yang dinilai sangat mempengaruhi tarif PCR di masyarakat
Ia menyebutkan, perlu diperhatikan. apakah dengan harga tersebut laboratorium-laboratorium di dalam prosesnya menjalankan sesuai dengan ketetapan pemerintah, seperti penetapan standarisasi dan proses monitoring evaluasi terhadap sebuah laboratorium PCR.
Selain itu, masih banyak hal yang perlu diperhatikan. Seperti, standar gaji, struktur organisasi dalam operasional laboratorium, jenis mesin, platform, infrastruktur laboratorium atau biosafety level (BSL), material atau bahan habis pakai seperti reagen dan alat pelindung diri (APD), penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta kalibrasi dan perawatan alat. Terlebih lagi, reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai banyak yang harus diimpor dari luar negeri.
“Komponen-komponen ini mesti menjadi pertimbangan kita dalam menentukan tarif harga PCR. Pengusaha sudah menyiapkan stok reagen berkualitas yang banyak, tidak mungkin karena harga turun kita ganti dengan kualitas yang kurang baik?" ucapnya.
Sari mengambil contoh bagaimana laboratorium di Jakarta yang banyak, tetapi di beberapa daerah lainnya belum memiliki laboratorium yang mumpuni dan harus menunggu waktu lama untuk hasilnya.
"Apakah pengusaha laboratorium tidak berminat untuk investasi di daerah karena kurang menarik atau karena terlalu besar investasinya dengan resiko besar dan harga minim sehingga sulit beroperasi, hal ini harus menjadi pertimbangan agar laboratorium PCR menjadi accessible di seluruh penjuru Indonesia supaya tracing tetap terjaga dan memudahkan untuk bepergian ataupun kebutuhan PCR untuk lanjutan pemeriksaan kesehatan," kata Sari.
FAIRUZ AMANDA PUTRI
Baca Juga: Luhut Soal Bisnis PCR: Saya Selalu Mendorong Harga Tes Diturunkan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.