TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak penetapan upah minimum provinsi atau UMP 2022 yang mengacu pada amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, serikatnya tetap berpegang pada rumusan pengupahan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Iqbal menuturkan, UU itu mengamanatkan penghitungan UMP berdasar pada survei kebutuhan hidup layak atau KHL di tengah masyarakat.
“KSPI minta menggunakan KHL merujuk pada UU Nomor 13/2003, karena kita sedang menggugat UU Cipta Kerja, sehingga PP Nomor 36/2021 tentang Pengupahan juga tidak boleh,” kata Iqbal melalui sambungan telepon, Selasa, 2 November 2021.
UU Cipta Kerja yang tengah digugat itu, kata Iqbal, tidak dapat dijadikan instrumen penghitung kenaikan UMP pada tahun depan. Alasannya, objek hukum yang ada pada UU itu belum memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Lewat survei KHL itu, dia mengatakan, KSPI mendapatkan nilai kenaikan UMP 2022 sebesar 7–10 persen. Menurut dia, harga sejumlah KHL pekerja, seperti sewa rumah, transportasi, dan barang di pasar mengalami kenaikan yang signifikan selama pandemi.
“Itemnya yang besar sewa rumah dan transportasi buruh, karena Covid-19 jadi tidak bisa naik angkot, sekarang pakai Gojek. Jadinya mahal,” kata dia.