TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Sulistyo mengatakan pemerintah semestinya dapat menghimpun penerimaan pajak yang lebih besar dari pengesahan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ia menilai target peningkatan penerimaan pajak yang dipatok pemerintah sebesar 9,2 persen dari berlakunya UU HPP tidak sebanding dengan efek kebijakannya.
“Hitung-hitungannya kalau hanya bisa menambah (penerimaan pajak) segitu, effort-nya terlalu jauh, apalagi diterapkan di masa sulit (pandemi),” ujar Eko dalam webinar Indef, Sabtu, 29 Oktober 2021.
Pemerintah memproyeksikan pendapatan perpajakan 2022 akan bertambah sekitar Rp 139 triliun seiring berlakunya UU HPP. Bila beleid itu tidak diterapkan, penerimaan perpajakan tahun depan hanya sebesar Rp 1.510 triliun dengan rasio kepatuhan perpajakan (tax ratio) 8,44 persen.
Menurut Eko, keinginan pemerintah meningkatkan pendapatan pajak tak sampai Rp 140 triliun bisa dikejar dengan cara lain. Misalnya, meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajaknya.
“Dioptimalkan saja dari tax amnesty jilid I, dipantau apakah mereka (wajib pajak) sudah taat membayar pajak sampai hari ini. Kalau sekelas UU HPP, harusnya bisa mendorong penerimaan yang lebih tinggi lagi,” tutur Eko.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu sebelumnya mengatakan UU HPP dapat memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Dalam jangka menengah, kata dia, rasio perpajakan bisa mencapai lebih dari 10 persen Produk Domestik Bruto paling lambat pada 2025.
Target itu bisa tercapai seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan.